AWAL tahun ini dalam sebuah forum diskusi di Jakarta, Presiden Indonesia Joko Widodo dengan berapi-api memaparkan gagasannya untuk pengembangan ekonomi hijau atau green economy di Tanah Air. Baginya, bergerak kepada ekonomi prolingkungan itu merupakan keniscayaan.
“Ke depan kita akan mengarah kepada yang namanya ekonomi hijau, green economy. Tahun 2030 nanti orang Eropa dan Amerika nanti tidak mau lagi pakai produk bukan dari ekonomi hijau. Makanya upaya ke arah ini akan kita tata,” ujar sang Presiden di Istana Negara, Januari lalu.
Menurut mantan Wali Kota Solo itu, ekonomi hijau akan menjadi kiblat komunitas dunia. Pada forum G20 Oktober 2021 lalu tema ini naik daun. Banyak kepala negara berbicara soal green economy. Agar tidak tertinggal dan tersisih dari komunitas dunia, maka Indonesia pun harus menuju ke sana.
Filosofi ekonomi hijau adalah semangat menyeimbangkan antara kesejahteraan ekonomi rakyat dan keadilan sosial dengan tetap mengurangi risiko-risiko kerusakan lingkungan dan ekologi. Esensi ekonomi hijau sebagai model pembangunan ekonomi adalah pelestarian alam berkelanjutan.
Merujuk keterangan resmi United Nations Environment Programme (UNEP), ekonomi hijau diartikan sebagai ekonomi rendah karbon, hemat sumber daya, minim limbah, dan inklusif secara sosial. Serta pencegahan risiko hilangnya keanekaragaman hayati dalam ekosistem akibat aktivitas ekonomi.
Dalam sebuah forum ilmiah, Guru Besar dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UGM, Prof Dr Sri Adiningsih mengemukakan kebijakan negara menuju green economy adalah “jalan (yang) benar”. Tujuannya tentu agar bumi yang kita tempati ini dapat terus terawat kelestariannya.
“Kita hanya punya satu bumi yang harus kita cintai dan jaga supaya anak cucu atau keturunan yang akan datang dapat mewarisi planet dengan prima, atau paling tidak masih sama seperti sewaktu kita menerima dari generasi kita sebelum ini,” ujar Prof Dr Sri Adiningsih.
Ekonomi hijau merupakan antitesis dari keegoisan umat manusia mengeksploitasi alam atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Muaranya adalah alam yang kian ringkih. Keegoisan ini menghasilkan udara yang kotor, air yang tercemar, hutan yang tandas, serta laut berkalang limbah.
***
Awal pekan ini nada sumbang datang dari petambak di pesisir Lampung Timur. Air laut tercemar membuat budi daya udang mereka berada di ujung tanduk. Betapa tidak, udang siap panen sakit bahkan mati akibat air laut yang tercemar limbah. Para petambak pun merana meratap nasib.
Gumpalan hitam menyerupai aspal atau limbah minyak tersebut mencemari perairan dan berdampak buruk bagi para nelayan dan petambak udang setempat. Dedi Cahyadi, salah satu petambak, mengeklaim 80% udang milik petambak mati lantaran kualitas air yang memburuk.
Usut punya usut, kebocoran pipa bawah laut laut KRIB-CINP milik PT Pertamina Hulu Energi Offshore Southeast Sumatera diduga menjadi penyebab terjadinya pencemaran. Belakangan perwakilan perusahaan ini mengamini dengan hipotesis sementara pipa berusia uzur menjadi biang petaka.
Kalau menilik data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia(Walhi) Lampung ini bukanlah peristiwa kali pertama. Pada 2020 lalu juga terjadi persoalan serupa juga di Kabupaten Lampung Timur. Limbah menyerupai minyak juga mencemari pesisir pantai lima kabupaten di Provinsi Lampung pada 2021 silam.
Lalu, pada 2022, tepatnya pada Maret, tumpahan minyak juga memenuhi perairan Lampung, yakni pesisir Pantai Panjang, Kota Bandar Lampung. Anehnya, meskipun sudah terjadi berulang-ulang, tidak ada satu pun pihak yang dapat dituntut pertanggungjawabannya atas limbah-limbah tersebut.
Andai kata kita mau berpikir lebih kritis lagi, persoalan limbah dan pencemaran lingkungan itu sejatinya terjadi saban hari sepanjang tahun. Kalau mau jujur, potret pesisir Teluk Lampung berkalang limbah sampah rumah tangga adalah potret buram yang entah kapan dapat kita akhiri.
Saya pun teringat kisah Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan kala melintasi Selat Sunda menggunakan helikopter 2017 silam. Betapa terkejutnya ia ketika memandang selat penghubung Jawa dan Sumatera dari udara yang tampak adalah gugusan-gugusan sampah.
Persoalan limbah atau pun sampah adalah musuh bersama kita semua. Untuk lepas landas menuju green economy, maka persoalan pelik ini harus lebih dahulu teratasi. Buanglah sampah, apalagi limbah, pada tempatnya seharusnya menjadi aturan main yang tidak boleh ditumbur siapa pun.
Bahkan, jikalau kita mau serius, persoalan sampah dapat menjadi sumber energi terbarukan yang menjadi salah satu cabang ekonomi hijau. Sampah bisa diolah menjadi metana atau biogas. Gas metana itu yang bisa menghasilkan energi yang bisa dimanfaatkan untuk memasak atau listrik.
***
“Kita tidak mewarisi bumi dari nenek moyang, tapi kita meminjamnya dari anak cucu.” Kata-kata bijak ini sungguh tepat adanya. Kekayaan alam yang kita nikmati saat ini sejatinya adalah pinjaman dari masa depan, milik anak cucu kita, yang bahkan belum lahir. Maka, merawatnya adalah niscaya.
Jika pinjaman dari masa depan itu kita tandaskan sekarang, lantas kehidupan seperti apa yang dapat kita berikan untuk generasi bangsa ke depan selain kebangkrutan ekologis? Pencemaran lingkungan, apalagi oleh limbah, bukanlah persoalan main-main. Risikonya adalah bencana ekologis.
Intensitas bencana alam meninggi kala fenomena cuaca ekstrem melanda adalah jawaban alam atas kerusakan lingkungan yang terjadi. Bencana banjir bandang, misalnya, tidak mungkin kita lepaskan dari sisi hulu sungai yang tidak lagi hijau lantaran zona hijau terbabat habis akibat ulah manusia.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kenaikan drastis peristiwa bencana hidrometeorologi saban tahun. Dampaknya kerugian materi bahkan hingga korban jiwa. Biang kerok dari fenomena ini jelas adalah kondisi alam kita yang kian rentan dan ringkih tereksploitasi.
Berdasarkan data BNPB sepanjang tahun 2011—2021, dalam sepuluh tahun terakhir bencana alam di Indonesia mengalami kenaikan tajam. Dengan total kejadian bencana mencapai 24.270 peristiwa yang didominasi bencana hidrometeorologi dengan korban jiwa yang tidak bisa dibilang sedikit.
Solusi fenomena di atas adalah mengobati kerentanan lingkungan atau meningkatkan kembali imunitas alam. Reboisasi adalah contoh upaya manusia yang dapat dilakukan manusia untuk merawat kembali hutan sekaligus mencegah datangnya bencana baik banjir atau longsor.
Begitu pula sebaliknya manakala alam terawat dengan baik, limpahan berkah akan senantiasa menghampiri manusia. Laut yang bersih tak tercemar pasti kaya dengan kandungan ikan dan akan menjadi surga bagi para nelayan. Laut yang bersih nan asri akan menjadi sumber penghidupan.
Alam terawat asri akan menumbuhkan sektor pariwisata. Keindahan panorama alam telah menjadi resep alami industri pariwisata. Para pelancong akan datang dengan sendirinya manakala keindahan alam dapat terjaga. Jika sektor wisata tumbuh, sektor turunannya juga akan tumbuh.
Pendek kata, merawat alam itu berfaedah bagi umat manusia untuk saat ini juga untuk masa depan. Mari kita jaga bumi kita yang hanya satu-satunya ini dengan langkah-langkah sederhana dan tidak muluk-muluk, semisal, membudayakan kembali membuang sampah pada tempatnya. n