Delima Napitupulu
Wartawan Lampung Post
KEMARIN pagi perhatian saya tertuju pada satu berita kejahatan yang dilakukan oleh oknum dosen STKIP PGRI Bandar Lampung. Tenaga pendidik di kampus yang mencetak guru itu, melakukan kekerasan seksual terhadap seorang mahasiswi.
Melalui nomor laporan LP/B/328/VIII/2023/SPKT/POLDA LAMPUNG, Hendra Saputra, si oknum dosen, telah dilaporkan dan bakal diproses. Kabar itu tentu membuat geram. Apalagi tindak kekerasan seksual yang dilakukan si predator sampai berkali-kali, termasuk di dalam area kampus.
Apakah itu hanya kejadian tunggal? Mari membuka hasil survei Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada 2020. Hasilnya menunjukkan bahwa kekerasan seksual terjadi di semua jenjang pendidikan. Dari total kasus, 27 persen aduan ternyata kekerasan tersebut justru terjadi di lingkungan kampus.
Masih kata survei itu, banyak dari korban tidak melapor kepada pihak kampus karena pengaruh kuasa pelaku terhadap korban. Artinya, tindak pelecehan dan pemerkosaan oknum dosen pada mahasiswanya justru menjadi kubangan gelap yang sulit diungkap karena korban atau mahasiswa lain yang mengetahui kondisi itu malah memilih bungkam karena takut dan lain hal.
Masih dari survei Kementerian itu, predator seksual yang menyamar sebagai oknum dosen masih amat leluasa melakukan aksi perusakan masa depan anak didiknya. Para predator dengan berbagai siasat menjerat dan menjadikan mahasiswa sebagai objek bukan manusia.
Pasalnya, jika predator masih menganggap mahasiswanya sebagai manusia, harusnya oknum dosen tahu bahwa korbannya punya hak asasi yang dilindungi UU. Pelecehan dan pemerkosaan yang dilakukan jelas sudah menabrak amanat UU tersebut.
Sebut saja Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Tiap diksi di dalamnya bertujuan memastikan semua orang steril dari kekerasan seksual.
Saya mencoba memasukkan kata kunci “dosen pemerkosaan” di Google dan hasilnya deretan berita kekerasan seksual yang dilakukan oknum dosen di berbagai daerah langsung muncul. Sungguh bobrok. Predator berdiam diri di kampus dan siap memangsa mahasiswa yang lemah.
Mahasiswa korban oknum dosen predator benar-benar jatuh tertimpa tangga. Sudahlah harus membayar untuk kuliah, belum juga jadi sarjana masa depannya malah rusak di tangan bajingan tengik berwujud oknum tenaga pendidik.
Saya sepakat jika kekerasan seksual terjadi di dalam kampus, pihak kampus harus turut bertanggung jawab. Kesalahan bukan cuma di tangan pelaku, melainkan segenap tenaga pendidik dan kependidikan di kampus itu yang lalai mendeteksi tabit asli teman sejawatnya yang adalah predator.
Berikutnya, Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah II yang membawahi Lampung. Apakah peran pengawasan penyelenggaraan pendidikan tinggi sudah dijalankan secara serius atau masih bersifat seremoni
Segera skrining semua dosen! Jangan diam saja saat masa depan anak orang rusak, ada banyak penjahat masih berkeliaran sambil mengenakan “seragam (oknum) dosen” di lingkungan yang Anda pimpin.n