DATA riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2018, menyatakan satu dari tiga balita di Indonesia mengalami anemia. Hingga 60% kasus anemia disebabkan kekurangan zat besi.
Hal tersebut berdampak pada perkembangan kognitif, motorik, sensorik, perilaku, dan emosi. Ahli gizi ibu dan anak, Sandra Fikawati, mengatakan saat anak memasuki usia sekolah, kekurangan zat besi akan berdampak pada kurangnya konsentrasi belajar, hingga perkembangan yang tertunda.
āJutaan anak mengalami pertumbuhan terhambat, keterlambatan kognitif, kekebalan yang lemah, dan penyakit akibat defisiensi zat besi. Padahal, anak usia prasekolah membutuhkan dukungan gizi,” kata Fikawati, kemarin (26/1).
Menurut dia, 30%ā80% anak di negara berkembang mengalami kekurangan zat besi pada usia 1 tahun.
Ketua Himpaudi Pusat, Netti Herawati, menjelaskan proses belajar seharusnya menjadi pengalaman yang menyenangkan. Anak sebaiknya tidak mengalami masalah, termasuk kendala kesehatan.
āOrang tua dan pendidik harus saling mendukung dalam proses belajar anak, termasuk dalam pendidikan dasar seperti PAUD. Kami meminta orang tua memperhatikan asupan gizi di rumah, untuk mendukung proses belajar anak secara optimal,ā kata Netti.
Penyebab kekurangan zat besi paling banyak disebabkan pola makan tidak seimbang dan gangguan proses penyerapan zat besi. Zat besi bisa ditemukan pada daging sapi, ayam, hati, telur, kacang-kacangan, ikan, dan sayuran.
Corporate Communications Director Danone Indonesia Arif Mujahidin mengatakan semua pihak harus mendukung anak Indonesia agar terpenuhi haknya untuk maju dan berprestasi. “Kami mengajak orang tua untuk memastikan kebutuhan harian gizi anak, termasuk zat besi, terpenuhi dan terserap dengan baik,ā ujarnya.
Pihaknya menyediakan sebuah platform daring untuk membantu orang tua melakukan tes risiko kekurangan zat besi pada si Kecil melalui situs www.generasimaju.co.id. Fitur itu diharapkan dapat membantu orang tua mendeteksi kekurangan zat besi pada anak sejak dini dan memberi stimulasi untuk mendukung anak menjadi generasi maju. (IMA/O1)