INDONESIA masih diharapkan untuk bersuara lantang terkait kudeta militer yang terjadi di Myanmar.
Hal itu disampaikan Eva Kusuma Sundari, yang pernah berperan sebagai penggerak ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) dalam webinar yang bertajuk Apa yang Harus Dilakukan Indonesia dan ASEAN untuk Situasi Myanmar Terkini?
“Indonesia masih diharapkan karena masih lebih demokratis dibanding dengan (negara ASEAN) yang lain. Indonesia masih kami harapkan untuk bersuara lantang membantu demokratisasi di regional,” katanya, Kamis (4/2).
Sebelumnya diberitakan Lampung Post, pada Senin (1/2) militer Myanmar mengambil alih kekuasaan. Pemimpin sipil Aung San Suu Kyi bersama para tokoh politik lainnya ditahan setelah militer melakukan kudeta.
Militer menyatakan kemenangan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi dalam pemilu diwarnai kecurangan.
Tindakan tersebut pun menuai kecaman dunia internasional. Berbagai negara mendesak militer Myanmar segera membebaskan semua pihak yang ditahan.
“Di antara negara ASEAN, kita masih mengharap Indonesia menjadi leading actor untuk memengaruhi negara-negara ASEAN lain,” kata mantan anggota DPR itu.
Menurutnya, Indonesia bisa berperan dalam membantu Myanmar di semua tingkatan baik di tingkat parlemen, civil society maupun pemerintahan.
Pada kesempatan tersebut, Senior Lecturer Flinders University, Adelaide, Australia, Priyambudi Sulistiyanto mengatakan penting untuk mendukung restorasi demokrasi di Myanmar. Namun, terkait adanya faktor Tiongkok dalam konteks Myanmar, menurutnya, perlu ada upaya yang lebih kreatif untuk mewujudkan hal tersebut.
Ia menyampaikan Tiongkok memiliki hubungan yang rumit dan panjang dengan Myanmar. Dalam tradisi diplomasi dengan Tiongkok, kawan atau sahabat lama itu penting. Walaupun terjadi pergantian pemerintahan di Myanmar dari sipil ke militer ataupun sebaliknya, katanya, persahabatan lama itu tetap kuat. (MI/O1)