BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dalam waktu sekejap menjelang malam, ruas jalanan yang berpagar bangunan ditutupi tenda. Inilah penguasa baru Bandar Lampung di waktu malam, warung dan kafe tenda.
Kehadiran deretan warung tenda di berbagi ruas jalan, dalam satu tahun terakhir, membuat Bandar Lampung layak dijuluki kota kuliner. Meski pusat kuliner resmi Bandar Lampung yang dibangun mantan Wali Kota Eddy Sutrisno di Jalan Brigjen Katamso dibongkar Wali Kota Herman H.N., geliat sektor riil ini tak padam.
Bagai jamur tumbuh di musim hujan, warung dan kafe tenda yang semula cuma ada di ruas jalan-jalan utama, seperti Jalan Kartini, Jalan Raden Intan, Jalan Teuku Umar, Jalan Z.A. Pagaralam, kini melebar ke berbagai sudut. Setiap malam, hampir tak ada sudut jalan yang kosong oleh warung tenda.
Makanan dan minuman khas yang semula hanya dijumpai di kota-kota Pulau Jawa, kini ada di Bandar Lampung. Sebut saja, nasi kucing dan angkring khas Yogyakarta yang kini hadir di depan Museum Lampung.
Umumnya, warung dan kafe tenda ini berkonsep outdoor (luar ruang) sebagai tempat nongkrong anak muda dan remaja. Pemilik warung tenda Trotoar AZ, M. Aru Setiawan, mengaku usaha sampingan yang berawal dari hobi nongkrong tersebut buka pukul 20.00 hingga pukul 04.00 setiap hari, kecuali libur dan Minggu.

Usaha yang ditekuni sejak tahun 2008 itu, kata Aru, dalam satu hari bisa meraup untung rata-rata Rp300 ribu dari usaha makanan siap saji, seperti mi instan, roti bakar, dan bubur kacang hijau. “Mayoritas pengunjung 70% anak muda, 30% keluarga, dan orang dewasa,” kata Aru, di usaha warung tenda yang dikelolanya, di Jalan A. Yani, Bandar Lampung, Jumat (31-12) malam.
Selain tempat nongkrong anak muda, warung tenda juga menjadi alternatif bagi yang ingin mencari makanan pada waktu malam. Pengunjung warung tenda, Indra Wardani, mengaku makan di warung tenda karena harganya murah. Dalam satu minggu, dia bersama temannya bisa datang tiga kali. “Kadang-kadang jika suntuk di rumah, saya datang sendirian,” kata mahasiswa jurusan teknologi informasi ini.
Belum Tertata
Kehadiran warung dan kafe tenda ini belum dikelola secara baik oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandar Lampung sebagai aset wisata. Pengamat pariwisata, Citra Persada, menilai warung tenda hadir tanpa konsep pariwisata sehingga belum layak dijual.
“Pariwisata Lampung hanya hidup siang hari. Seharusnya wisata kuliner bisa jadi alernatif wisata malam. Banyak kota yang mengembangkan wisata kuliner sebagai daya tarik, tapi Bandar Lampung sebagai ibu kota provinsi belum melirik hal ini,” kata Citra.
Pemkot Bandar Lampung masih memperlakukan warung tenda sama dengan rumah makan. Sekretaris Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan, dan Aset (DPPKA) Bandar Lampung Zaidirina mengakui warung tenda merupakan salah satu objek pajak rumah makan, yakni berdasarkan Perda No. 8 Tahun 2002 tentang Pajak Rumah Makan.
Dalam perda tersebut, rumah makan yang dikenakan pajak beromzet Rp50 ribu/hari. Namun, berdasarkan perda baru, pajak dikenakan pada rumah makan beromzet Rp250 ribu/hari.
Pemkot berencana memberlakukan tarif pajak progresif rumah makan, yakni beromzet Rp250 ribu?Rp350 ribu/hari dikenakan pajak 5%, beromzet Rp350 ribu?Rp600 ribu/hari sebesar 7,5%, dan di atas Rp600/hari dikenakan pajak 10%. PE (MG18/MG2/R-3)
ARSIP LAMPUNG POST, EDISI MINGGU 2 JANUARI 2011