DAMPAK-DAMPAK tak langsung dari pengaruh Banten dapat diketahui melalui perbedaan jenis-jenis penjimbang, eksistensi papadon dipisahkan melalui dampak langsung politik Banten. Ia memiliki papadon atau ia tidak memiliki papadon. Hal ini menjadi tanda pembeda yang penting bagi orang Abung zaman sekarang.
Tingkat papadon tersebut dikenali hanya untuk orang yang diinisiasi. Dalam bab selanjutnya, akan disebutkan dan dijelaskan pada penjelasan detail upacara papadon dan pesta rakyat yang terkait dengan hal tersebut. Dalam bab ini, penjelasan hanya akan dibatasi pada perkembangan sejarah dan penyebutan tanda-tanda pembeda yang penting.
Inisiasi dengan menempatkan kandidat pada papadon dan merayakan pesta rakyat telah ada sejak zaman megalitik. Pemerintah Banten memberikan gelar dan kehormatan untuk kepala suku yang bertanggung jawab kepada sukunya sebagai hadiah balasan atau sebagai insentif untuk barang-barang produksi pertanian yang dibawa ke perdagangan Banten.
Gelar kehormatan ini sebagian berhubungan dengan ritual inisiasi lama. Gelar ratu, pangeran, dan sutan menjadi bagian dari adat. Sutan Banten dan petugas Jawa dapat memberikan kemampuan dengan memberikan gelar terkait untuk menjadi pendiri sebuah suku. Namun, kebutuhan untuk mengadakan pesta rakyat tidak dihapuskan.
Sementara itu, posisi untuk bandar telah dibentuk. Di wilayah tenggara Abung dibuat batas untuk wilayah operasi dari pengawas Banten. Bandar-bandar ini telah ada pada abad ke-17 dengan wilayah persebaran suku-suku genealogis. Kemungkinan bandar-bandar ini mengikuti jejak suku-suku ini untuk mendirikan pangkalan.
Di sana, mereka memiliki masalah dalam hal pertanian atau lalu lintas. Produksi dan pengangkutan lada merupakan satu-satunya aspek politik kolonial Banten. Pada masa perkembangan kekuasaan terbesar Banten di wilayah Lampung, yaitu pada abad ke-17 dan dekade pertama abad ke-18.
Kegunaan tanaman lada telah diketahui oleh seluruh orang Abung sejak awal, sehingga dibentuk sistem untuk mengangkut panen lada mengelola dan mungkin juga memperoleh hasil yang lebih baik pada penanamannya di wilayah-wilayah Abung yang terpencil.
Di sini menjadi titik awal sistem marga yang nantinya memberikan peran penting untuk manajemen suku-suku Abung pada masa kolonial Belanda.
Diceritakan bahwa nama Jawa Bandar dipilih untuk wilayah perekonomian di bagian tenggara yang mendapat pengaruh kuat dari Banten sementara di daerah jauh dipilih nama marga Melayu atau Sumatera.
Di wilayah pesisir utara Sumatera Melayu, sejak zaman dulu kata “marga” merupakan kata untuk suku yang memiliki badan politik. Namun, marga yang dimaksudkan tersebut tidak ada pada orang Abung. Di sana, buwei-buwei merupakan satuan genealogis yang perasaan solidaritasnya berdasarkan pada persamaan tradisi ritual megalitiknya.
Oleh karenanya, marga-marga tersebut tidak dipandang oleh orang Abung sebagai buatan kolonial. Pada abad ke-17, tampaknya para bandar mendirikan marga-marga seperti di tenggara di Wai Sekampung sebagai wilayah perekonomian.
Marga-marga baru ini juga kongruen dengan buwei-buwei genealogis. Seperti yang telah dijelaskan di awal, pemberian gelar yang dilakukan oleh sultan pada dasarnya berhubungan dengan penyerahan hadiah.
Maka, pusaka, senjata, pakaian Jawa, kemudian keramik, dan pipa meriam yang digunakan sebagai hiasan rumah dari perunggu menjadi milik orang Abung. Banyak dari peninggalan tersebut yang masih bisa ditemui hingga sekarang.
Dari pemberian-pemberian tersebut, keris memiliki peran yang paling besar. Untuk gelar pangeran, diberikan satu hingga tiga pisau belati. Berdasarkan budaya, terdapat perbedaan apakah keris tersebut dikenakan di ikat pinggang di bagian kiri, kanan, atau depan.
Bagi yang memberi hadiah yang paling penting adalah lada dan di masa berikutnya dibayarkan dalam bentuk uang. Namun, bagi orang Abung yang menerima hadiah, hal ini bermakna sebuah tingkatan kehormatan yang diberikan kepadanya. (p1)