SALDA ANDALA
RUU Pemilu yang sedang digodok DPR mengatur soal syarat pencalonan anggota DPR dan presiden. Ada pasal yang mensyaratkan pendidikan minimal perguruan tinggi bagi calon presiden hingga calon anggota DPR.
RUU Pemilu ini merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam draf RUU Pemilu yang diterima Lampung Post, pada Jumat (29/1), disebutkan bahwa syarat pendidikan minimal calon presiden dan wakil presiden adalah perguruan tinggi. Syarat serupa berlaku juga untuk calon anggota DPR hingga Anggota DPRD.
Hal itu diatur dalam pasal 182 (Draf RUU Pemilu) ayat dua yang berbunyi “Calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut, diantaranya berpendidikan paling rendah lulusan pendidikan tinggi atau yang sederajat,” bunyi aturan tersebut.
Syarat ini berbeda dengan Pasal 240 UU Pemilu ayat satu yang masih berlaku, yakni calon Presiden hingga anggota DPR minimal pendidikannya adalah SMA atau sederajat.
Menanggapi hal tersebut, PDIP Perjuangan menolak adanya aturan minimal pendidikan terakhir seorang capres hingga caleg. PDIP tidak setuju dengan aturan syarat menjadi capres hingga caleg minimal lulusan perguruan tinggi. “Ya, tidak setuju,” kata Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat kepada wartawan di Jakarta.
Anggota Komisi II DPR RI itu menilai batasan pendidikan setara SMA atau sederajat sudah cukup menjadi syarat bagi capres hingga caleg. Menurut Djarot, serahkan saja hal tersebut ke publik. “Menurut saya cukup minimal lulusan setingkat SMU atau sederajat,” ujar Djarot.
“Serahkan saja kedaulatan kepada rakyat untuk bisa menentukan pilihan,” tambah dia.
Tunggu Fraksi
Disisi lain, pembahasan RUU Pemilu yang membahas terkait larangan bekas anggota organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengikuti pemilihan umum, baik pemilihan legislatif, kepala daerah, hingga presiden harus mengakomodir pandangan semua fraksi.
“Ya, tidak setuju,”
“Bahwa bawah pasal-pasal itu mengakomodir pandangan semua fraksi. Jadi belum dibahas secara dalam apakah fraksi setuju atau tidak. Oleh karena itu, karena ini masih usulan kami sulit untuk mengatakan menolak atau menerima dan seterusnya,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia, di gedung DPR Jakarta.
Dalam pembahasannya beberapa fraksi mendapatkan pandangan lain tentang RUU tersebut. Salah satunya meminta untuk ditunda pembahasannya karena masih fokus dalam masalah penanganan pandemi covid-19.
“Tentu bagi Golkar pandangan ini menjadi penting untuk dicermati. Karena lahirnya UU berdasarkan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Kedua RUU pemilu ini inisiatif DPR. Jadi kalau inisiatif DPR semua fraksi harus mempunyai pandangan yang sama. Apakah UU itu perlu dirubah atau tidak,” ujar dia.
Politisi Golkar ini pun mengatakan pada awalnya semua fraksi di Komisi II sepakat namun seiring perjalanan pembahasan ada pandanga yang berbeda. “Saya kira anggota fraksi masing-masing partai di Komisi II setelah RUU ini disusun mengkomunikasikan ini ke pimpiman partai masing-masing. Sekarang ada perkembangan yang berbeda,” katanya
Selanjutnya Doli menilai harus kembali duduk kembali untuk memastikan RUU tersebut akan dilanjutkan atau sebaliknya. Komisi II pun akan kembali rapat untuk meminta ketegasan dari setiap fraksi. (MI/K1)
salda@lampungpost.co.id