SALDA ANDALA
DPR RI telah memasukan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 7/2017 tentang Pemilu ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Revisi UU Mengatur tentang rencana pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak selanjutnya, yakni pada tahun 2022 dan 2023.
Merujuk Pasal 731 Ayat (2) dalam draf revisi UU Pemilu yang diterima Lampung Post, pilkada 2022 akan diikuti oleh 101 daerah yang menggelar pilkada pada 2017. Termasuk diantaranya pilkada lima kabupaten di Lampung yakni Mesuji, Lampung Barat, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat dan Pringsewu. Namun dalam draf tersebut belum diatur tentang tanggal dan bulan pemungutan suara yang nantinya akan dibicarakan lebih lanjut antara KPU, Bawaslu, pemerintah dan DPR jika sudah disahkan menjadi UU. Kemudian pada Pasal 731 Ayat (3), pilkada 2023 akan diikuti oleh daerah yang menggelar pilkada pada 2018 lalu diantaranya Pilgub Lampung, Pilkada Lampung Utara dan Tanggamus.
Bagi daerah yang baru saja menghelat pilkada 2020, maka baru akan kembali menggelar pemilihan pada 2027 mendatang. Ketentuan itu tertuang dalam Pasal 731 Ayat (1). Dalam draf revisi UU Pemilu juga dijelaskan bahwa pilkada di tahun 2027 disebut dengan Pemilu Daerah. Seluruh provinsi, kabupaten dan kota yang ada di Indonesia menggelar pemilihan kepala daerah di tahun yang sama.
Dengan kata lain, pemilihan kepala daerah di 34 provinsi, 98 kota dan 416 kabupaten dilaksanakan di waktu yang bersamaan. “Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali,” mengutip bunyi pasal 734 Ayat (1) draf revisi UU Pemilu tersebut, Minggu (24/1).
Bagi kepala daerah yang sudah habis masa jabatannya sebelum 2027, maka Kemendagri akan mengangkat penjabat kepala daerah dengan masa jabatan hingga 2027. Lalu diganti dengan kepala daerah hasil Pemilu Daerah 2027. Diatur dalam Pasal 735 draf revisi UU Pemilu.
Tidak Rubah Perilaku
Sementara itu peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, perubahan regulasi di bidang kepemiluan bukan kali ini saja dilakukan. Kendati demikian perubahan regulasi tersebut tidak banyak memepengaruhi perilaku pemilih maupun representasi politik.
Dalam hal ini, perilaku pemilih akan menentukan sistem kepartaian serta loyalitas terhadap partai. Sementara representasi politik meliputi keterwakilan perempuan dan etnis dalam medan politik. Arya menduga, dua aspek yang tidak terpengaruh meskipun perubahan regulasi kepemiluan sering dilakukan disebabkan karena partai politik tidak melakukan reformasi di internal.
“Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027,”
“Kan hulunya ini di partai, nah kalau nggak ada reform di partai, misalnya pada kompetisi politiknya nggak terjadi, nah kita susah terjadi dua perubahan itu,” ujar Arya dalam diskusi daring Mengapa Revisi Undang-Undang Pemilu Penting? yang dihelat Perludem, Minggu (24/1).
Dalam pemaparannya, Arya menyebut empat hal yang harus berpengaruh dalam revisi UU Pemilu kali, yakni kualitas caleg terpilih, level kompetisi antarpartai, proses rekrutmen dan partisipasi politik, serta electoral outcomes yang meliputi kualitas kebijakan publik, kepercayaan publik terhadap institusi, serta party identification atau kepercayaan pemilih pada partai.
Menurutnya, motivasi perubahan regulasi kepemiluan dipengaruhi oleh kondisi elektoral masing-masing partai. Apabila sebuah partai tidak memegang kendali penuh, maka model perubahan yang dilakukan melalui jalur yudisial, yakni uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, dapat juga dilakukan komunikasi dengan pihak luar seperti NGO, akademisi, atau masyarakat.
“Tapi kalau partai-partai itu pegang kendali, ketika ada respon terhadap perubahan, biasanya mereka akan redistributif,” kata Arya.
Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa saat memegang kendali, partai-partai akan melakukan negosiasi. Misalnya terkait presentase presidential ataupun parliamentary threshold yang diputuskan secara redistributif. (MI/K1)
salda@lampungpost.co.id