AAN KRIDOLAKSONO
PENERAPAN sistem pembelajaran jarak jauh atau daring oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan sejak pandemi Covid-19, April 2020 lalu, mengancam banyak siswa putus sekolah. Sebab, tidak sedikit para siswa tingkat SMA sederajat di Kecamatan Ketapang yang akhirnya putus sekolah karena pembelajaran daring tersebut.
“Memang tidak banyak hanya kisaran lima atau tujuh siswa, dua di antaranya karena hamil. Sedangkan lainnya belum ada keterangan keluar dari sekolah. Namun, mereka tidak pernah mengikuti KBM sejak berlakunya sistem daring,” kata seorang guru IPA di SMKN 1 Ketapang yang enggan disebutkan namanya, Minggu (7/2).
Sugianto, guru kesiswaan SMAN 1 Ketapang, juga mengungkapkan hal senada. Namun, dia menampik isu banyaknya siswa yang putus sekolah karena kegiatan belajar-mengajar (KBM) daring. Sebab, walau belajar jarak jauh, anak didik masih tatap muka dengan teman lainnya karena setiap hari gedung sekolah harus bersih.
“Jadi setiap hari ada saja siswa kelas X sampai kelas XII yang membersihkan sekolah. Namun, untuk kegiatan belajar-mengajar tetap sistem daring. Memang itu pun tidak semua siswa mengikutinya,” ujarnya.
Menurut dia, pembelajaran daring memang sangat berpengaruh dengan kondisi ekonomi guru dan orang tua siswa. Sebab, modal utama pembelajaran daring di masa Covid-19 adalah kuota internet dan ponsel pintar (smartphone). Banyak orang tua mengeluh karena bertambahnya pengeluaran, bahkan ada beberapa guru yang pendapatannya berkurang atau terpotong karena biaya transportasi tidak ada lagi.
“Sebagian besar keluarga tidak mampu yang tidak bisa menyediakan fasilitas belajar daring meminta anaknya berhenti sekolah,” ujarnya.
Tidak Efektif
Guru IPA tersebut menyatakan fakta tersebut menimpa orang tua Aksan, siswa kelas XI SMKN 1 Ketapang, Lampung Selatan. Warga Dusun Trans Cilacap, Desa Karangsari, Kecamatan Ketapang itu, mengaku pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 menjadi kendala besar bagi keluarganya.
“Dengan adanya perubahan cara belajar seperti saat ini membuat biaya pendidikan tambah tinggi di masa sulit seperti saat ini. Selain itu, capaian belajar anak pun turun karena waktu KBM terbatas. Kemudian anak juga tidak disiplin berada di rumah dan lebih banyak keluyuran,” ujarnya.
Apalagi, ujar dia, anak tersebut dari keluarga tidak mampu dan tidak memiliki alat pendukung belajar daring sehingga memilih berhenti sekolah.
“Makin lama anak-anak tidak sekolah, makin kecil kemungkinan mereka untuk kembali,” katanya.
Pandemi Covid-19 tidak hanya memberi tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Pandemi juga mengancam dunia pendidikan secara global. Sebab, berdasar pada data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), menyebutkan dari 1,6 miliar siswa di dunia, 24 juta di antaranya terancam putus sekolah selama pandemi. (D1)
aankrido@lampungpost.id