PERKEMBANGAN teknologi yang begitu pesat memecut semua sektor, baik pemerintah maupun swasta, untuk bertransformasi dari konvensional menjadi digital. Perubahan berbasis teknologi digital merupakan keniscayaan yang tidak dapat dibendung.
Suka tidak suka, mau tidak mau, masyarakat dipaksa untuk menerima dan mengikuti setiap perubahan. Satu manfaat paling penting yang disediakan teknologi digital ialah kemampuannya menghubungkan warga negara dengan pemerintah dalam cara baru yang efisien.
Digitalisasi menjadikan pelayanan publik lebih transparan sehingga bisa mengurangi korupsi. Hal itu pula yang menjadi roh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengeluarkan kebijakan sertifikat tanah elektronik.
Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang (Permen ATR) Nomor 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik yang ditandatangani Kepala BPN/Menteri ATR Sofyan Djalil sejak 12 Januari 2021. Atas dasar regulasi tersebut, pelaksanaan pendaftaran tanah yang sebelumnya konvensional, kini dilakukan secara elektronik.
Transformasi dari pola konvensional menuju digital tentu belum dapat diterima seluruh masyarakat. Sejumlah kekeliruan yang terjadi adalah adanya penarikan sertifikat lama secara besar-besaran saat sertifikat elektronik belum diterima. Warga takut sertifikat yang diganti justru akan merugikan dan berpotensi disalahgunakan.
Apalagi dari beleid tersebut ternyata sertifikat tanah asli nantinya tidak lagi tersimpan rapi di rumah. Namun, wajib diserahkan ke pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Ayat (3) yang menyatakan kepala Kantor Pertanahan menarik sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkat pada Kantor Pertanahan. Lalu, pada Ayat (4) menyatakan seluruh warkat sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dilakukan alih media (scan) dan disimpan pada pangkalan data.
Poin-poin itu pula yang akhirnya menjadi pemicu kekhawatiran pemilik tanah akan terjadinya penyalahgunaan hingga sengketa. Ketakutan masyarakat ini tentu beralasan kuat. Fakta yang terjadi saat ini masih saja terjadi sertifikat tanah ganda hingga menyebabkan perselisihan di masyarakat. Terlebih, hingga Oktober 2020, Kementerian (ATR/BPN) mencatat sengketa konflik dan perkara pengadilan mengenai pertanahan mencapai 9.000 kasus.
Kekhawatiran dan keraguan masyarakat tentu harus dijawab tuntas oleh BPN. Perlu sosialisasi dan transfer informasi yang masif hingga akar rumput agar masyarakat dapat mencerna dengan mudah. Bukan hanya transformasi digital pada sistem, melainkan reformasi internal BPN juga harus dilakukan. Jangan sampai sistem yang baik justru menjadi celah oknum bermain.
Harus dijelaskan kepada masyarakat aturan sertifikat elektronik ini untuk meningkatkan indikator berusaha dan pelayanan. Sekaligus juga mewujudkan pelayanan pertanahan berbasis elektronik. Dengan demikian, kekeliruan yang berkembang di masyarakat dapat terklarifikasi. Bila melalui kebijakan baru ini, masyarakat pemegang sertifikat tidak perlu khawatir buku sertifikat hilang, basah, atau terbakar karena semua sudah masuk basis data digital.