Arief Mahdian
Guru UPTD SMP Negeri 3 Airputih, Batubara, Sumut, Fasilitator Program Pintar Tanoto Foundation
PENDIDIKAN merupakan proses mentransfer pengetahuan dari pendidik ke peserta didik. Selain pengetahuan diperlukan juga pembinaan karakter bagi generasi muda agar tidak salah menerapkan ilmunya.
Salah satu karakter penting yang perlu ditanamkan oleh dunia pendidikan adalah menanamkan sikap toleransi atas keberagaman. Institusi pendidikan idealnya menjadi ruang yang memungkinkan terjadinya pertemuan berbagai perbedaan dan media untuk menjalin relasi sosial tanpa harus dibayang-bayangi pemikiran negatif.
Dalam kenyataan, tidak sedikit institusi pendidikan ternyata justru menjadi wadah bagi persemaian sikap intoleransi dan bahkan paham radikalisme yang makin meresahkan. Institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat belajar-mengajar yang menjauhi sikap intoleransi. Presiden keempat Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada masa pemerintahannya pernah menggaungkan tentang pluralisme.
Jangan heran kalau beliau dijuluki sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Beberapa pandangan beliau tentang pluralisme, antara lain konsep pluralitas adalah non-indeferent yaitu mengakui dan menghormati keberagaman agama. Gus Dur menyatakan perlunya tiga nilai universal dalam pluralisme agama, yaitu kebebasan, keadilan, dan musyawarah untuk menghadirkan kemaslahatan bangsa.
Gus Dur menghargai pluralitas non-indeferent, pluralitas agama pada dasarnya merupakan sebuah realitas dalam kehidupan dunia. Kesadaran akan pluralitas agama dapat menciptakan toleransi, kerja sama, dialog, solidaritas, persamaan, dan tatanan politik yang demokratis. Namun, tidak demikian halnya bagi pihak-pihak atau oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab. Mereka malah risih dengan istilah pluralitas, ada sikap kontroversi (pertentangan dalam diri).
Mereka ingin menonjolkan sikap eksklusivisme pada kelompoknya, memarginalkan orang–orang atau kelompok-kelompok tertentu, khususnya kalangan minoritas. Mereka ingin menanamkan sikap intoleran kepada masyarakat dan membuat negara ini hancur. Oleh karena itu, sasaran awal mereka untuk menumbuh kembangkan ideologi intoleran dengan merambah dunia pendidikan, memang hal demikian bukan pekerjaan mudah.
Langkah awal mereka untuk memuluskan rencana tersebut dengan membuat perkumpulan atau organisasi, yang notabene pengurus dan anggotanya direkrut dari kalangan orang dewasa. Hal seperti narasi tentang intoleransi sungguh jauh. Bahkan, tidak ada di sekolah tempat saya dan teman-teman melakukan kegiatan belajar dan mengajar di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) SMP Negeri 3 Airputih, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara.
Terjalinnya hubungan yang baik antara kepala sekolah dan komite sekolah, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik menciptakan lingkungan kerja yang baik juga lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didik untuk menimba ilmu. Saya sendiri pada saat mengajar di kelas VII pada semester ganjil 2020 membahas mata pelajaran IPS, mengenai keberagaman suku-suku yang ada di Indonesia. Kepada mereka saya kenalkan inilah wajah Indonesia sesungguhnya.
Mengenal Keberagaman
Saya biasa merangsang keingintahuan siswa dengan sebuah pertanyaan, di kelas ini ada suku apa saja? Ada yang menjawab Batak, Melayu, Jawa, Banjar, Padang, atau Tionghoa. Begitu juga ketika menanyakan tentang agama dan mereka menjawab Islam, Kristen, Katolik, dan Buddha. Dari situlah saya menjelaskan bahwa dari banyak pulau di Indonesia didiami beragam suku bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda pula.
Kepada siswa saya katakan banyak negara takut kepada Indonesia, kendati mereka memiliki senjata canggih. Sebab, banyak yang bingung dengan pernyataan tersebut, saya pun memberikan analogi dengan satu ikat sapu lidi. Dengan posisi demikian, ikatan tersebut bisa untuk menyapu segala sampah. Bandingkan dengan kalau hanya memiliki satu batang lidi.
Nah, itulah gambaran Indonesia yang dengan segala macam perbedaan di dalamnya, tetapi bisa menjadi satu kesatuan. Itulah esensi Bhinneka Tunggal Ika ketika perbedaan yang ada justru menjadi tempat untuk saling menghormati satu dengan lainnya.
Dalam tugas kelompok, saya meminta mereka mencari informasi lebih jauh tentang suku-suku bangsa di Indonesia. Informasi bisa digali dari mana saja, apakah buku atau internet untuk kemudian dipresentasikan dalam bentuk video.
Di sekolah kami ada semboyan 3S, yaitu senyum, salam, dan sapa. Semua itu diimplementasikan dalam proses belajar-mengajar, termasuk kegiatan ekstrakurikuler yang salah satunya kepramukaan. Untuk menghindari terjadinya penularan virus intoleransi, di lingkungan sekolah dibutuhkan kerja sama semua pihak. Semua guru saling berperan aktif dalam melawan intoleransi. Sebab, lewat merekalah pemahaman yang diwujudkan dalam praktik secara langsung memberikan pembelajaran lebih efektif.