Muhammad Fatahillah Akbar
Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
“VALENTINE bukan budaya kita. Lapor UU ITE itu budaya kita.” Ungkapan tersebut saya rasa tepat di bulan kasih sayang ini. Ketika netizen memperdebatkan apakah hari kasih sayang sebagai budaya Indonesia, mungkin UU ITE lebih tepat sebagai rujukan budaya.
Sesuatu yang dibiasakan dan dianggap benar sebagian besar masyarakat. Sampai pada klimaksnya tahun ini, penolakan pemidanaan berdasarkan UU ITE makin besar dan kuat. UU ITE dianggap membatasi terlalu keras kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sampai pada akhirnya Presiden Jokowi meminta DPR mulai membicarakan revisi UU ITE. Menjadi pertanyaan, apakah revisi UU ITE merupakan solusi atas salah kaprahnya penegakan hukum UU ITE selama ini?
Jika ditelaah, UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), lahir untuk mengejar ketertinggalannya terhadap perkembangan teknologi. Sekalipun dikenal adagium het recht hink achter de feiten aan yang berarti bahwa hukum akan selalu tertinggal di belakang perkembangan zaman, tetapi UU ITE dibentuk untuk mengikuti perkembangan zaman.
Terkait Konten
Menurut Convention on Cybercrime Perjanjian Internasional Uni Eropa, ada 9 kejahatan siber yang masuk empat kategori kejahatan. Pertama, offences against confidentiality, integrity, and availability of computer data and systems. Kedua, computer-related offences. Ketiga, content-related offences. Keempat, offences related to infringements.
Berdasar kategori itu, setidaknya UU ITE mengatur tiga kategori, yakni 1, 2, dan 3. Kategori 1 dan 2 memiliki kesamaan, yakni kejahatannya berkaitan dengan sistem dan komputer sehingga dapat dikatakan sebagai sebuah kejahatan baru yang telah berkembang. Perbedaannya, kategori 3 berkaitan dengan konten dan pada dasarnya ini kejahatan konvensional, tetapi dilakukan dengan teknologi.
UU ITE seharusnya lahir untuk fokus kepada kategori 1 dan 2. Namun, dalam praktik kategori 3 lebih banyak diterapkan. Kategori 3 diatur pada Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE. Pasal 27 kejahatan terkait konten (illegal content). Terdapat 4 konten yang dilarang didistribusikan melalui media elektronik, yakni asusila (Ayat 1), perjudian (Ayat 2), penghinaan dan pencemaran nama baik (Ayat 3), dan pemerasan (Ayat 4), sedangkan, Pasal 28 berkaitan dengan hoaks dan SARA.
Penelitian The Institute for Digital Law and Society terhadap 190 kasus UU ITE pada 2018, menunjukkan 41 kasus dikenai Pasal 27 Ayat (3), 19 kasus Pasal 28 Ayat (2) (SARA), 17 kasus Pasal 27 Ayat (1), dan 7 kasus, Pasal 27 Ayat (2). Semua kasus itu berkaitan dengan konten, sedangkan kejahatan yang berkaitan dengan sistem teknologi dan komputer, nihil. Hal itu menunjukkan UU ITE masih hanya menjadi alat pemidanaan bagi kejahatan konvensional yang dilakukan melalui teknologi.
Adapun perbuatan asusila atau penghinaan melalui elektronik akan menjadi kasus UU ITE. Angka tersebut meningkat di masa pandemi. Kasus Jerinx merupakan contoh diskursus penerapan UU ITE, dan kasus hoaks UU Cipta kerja juga menimbulkan banyak pertanyaan.
Sejatinya, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No 50/PUU-VI/2008 yang menguji Pasal 27 Ayat (3) UU ITE, memberikan pertimbangan bahwa pada dasarnya penghinaan dan pencemaran nama baik ialah bentuk pembatasan kebebasan berpendapat (freedom of speech). Pembatasan itu didasarkan Pasal 28J Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pertimbangan yang sama dapat diterapkan juga kepada Pasal Illegal Contents dalam Pasal 27-29 UU ITE. Dapat diambil kesimpulan bahwa pada 2008, MK menyatakan pasal itu konstitusional dan sah.
Namun, seiring dengan perkembangan media sosial yang sangat masif, pertimbangan MK tersebut perlu ditelisik lagi. Dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE diatur unsur “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” merujuk Pasal 310 KUHP. Unsur itu bersifat sangat subjektif dan karet. Naik atau tidak perkaranya, dapat dipengaruhi berbagai kepentingan.
Pemerintah dan DPR
Oleh karena itu, perlu dipertanyakan apakah pembatasan kebebasan berpendapat masih perlu dibatasi UU ITE. Dalam asas legalitas, terdapat kewajiban bagi penegak hukum untuk mengatur pasal yang tegas dan tidak multitafsir sesuai prinsip lex certa (harus jelas) dan lex stricta (harus tegas).
Namun, harus dipahami pula, selain masalah pengaturan, UU ITE juga menciptakan berbagai permasalahan. Sebagai contoh kasus Prita Mulyasari, yang mengkritik Rumah Sakit Omni, sempat berujung di penjara dengan Pasal 27 Ayat (3). Meskipun, kemudian bebas dalam putusan peninjauan kembali, Prita sempat merasakan pedihnya penjara hanya karena mengkritik pelayanan rumah sakit.
Selain itu, kasus Baiq di Mataram, yang menerima telepon dengan konten asusila, malah dijatuhi pidana Pasal 27 Ayat (1) UU ITE karena mengirimkan rekaman itu untuk dilaporkan. Apakah kemudian melaporkan tindakan asusila malah dapat dijerat sebagai pelaku? Vanessa Angel yang terlibat prostitusi juga dijerat Pasal 27 Ayat (1) yang sejak awal tidak pernah ditujukan pada kasus prostitusi. Beberapa kasus ini menjadi contoh kelam penerapan UU ITE.
Berdasar berbagai permasalahan di atas, terdapat dua tugas utama yang harus diemban pengambil kebijakan, yakni pemerintah dan DPR dalam menyusun revisi UU ITE. Sudah selayaknya Pasal 27 Ayat (3) UU ITE memiliki batasan yang lebih jelas dan tegas, serta tidak lagi merujuk pada Pasal 310 KUHP yang sangat subjektif.
Pasal 27 Ayat (3) UU ITE bisa juga dihapuskan dan kita merujuk pada Pasal 28 Ayat (2) UU ITE, yakni ujaran kebencian yang mengandung SARA dipidana. Hal ini lebih tegas dan jelas jika dibandingkan dengan “penghinaan” tanpa batasan yang jelas. Unsur SARA dapat menjadi salah satu batasan.
Selain itu, dalam penegakan hukum, penerapan UU ITE harus bersifat sebagai sarana terakhir (ultimum remedium). Harus ditegaskan bahwa penegak hukum wajib melakukan mediasi penal antara korban dan pelaku untuk mencapai perdamaian. Bisa dimungkinkan juga, penegakan hukum hanya dikenai dalam kasus pengulangan tindak pidana (residivist) sehingga penumpukan perkara UU ITE dan penuhnya penjara karena kejahatan ITE seperti ini dapat dihindari.