H. Bambang Eka Wijaya
SOAL buzzerRp jadi sorotan, dari anggota Dewan Pers Arif Zulkifli, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nashir, sampai Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. Mereka tegas menyebut buzzerRp ancaman terhadap kemerdekaan pers.
Arif Zulkifli menyorot fenomena buzzerRp ketika diwawancara detinNews untuk menanggapi pernyataan Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang menekankan pentingnya kritik dan saran bagi pemerintah. Pramono mengatakan itu saat mengucapkan selamat Hari Pers Nasional. (detikNews, 10/2)
Bisa dipahami, Pramono Anung meneruskan harapan Presiden Jokowi di acara Ombudsman RI, Senin (8/2). Jokowi meminta masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah. (Kompas.com, 8/2)
BuzzerRp atau pendengung adalah cyber army bayaran berupa sejumlah akun anonim. Mereka menyerang bersama seseorang atau medianya, ketika menyiarkan konten yang dinilai merugikan suatu lembaga atau orang.
Seperti yang dialami Cakrayuri, wartawan Liputan6.com, diserang dengan materi yang meneror dirinya secara bertubi-tubi, tidak henti dari sore hingga jauh malam. Sampai akhirnya ia lapor ke polisi.
Arif menegaskan kehadiran buzzer itu membahayakan kebebasan pers. Dalam beberapa kasus, kata Arif, buzzer menyerang jurnalis yang membuat berita dan menurunkan kredibilitas media.
Dalam beberapa kasus, kehadiran buzzer dinilai menguntungkan pemerintah. Namun, menurut Arif, belum ada bukti bahwa pemerintah menggerakkan buzzer.
Kecurigaan masyarakat buzzer digerakkan pihak tertentu, karena kalau ada orang yang diduga luas sebagai buzzer, diadukan oleh organisasi resmi pun tidak diapa-apakan. Namun, kalau orang yang mengeritik pemerintah, ditangkap dan ditahan.
Ketua Umum Muhammadiyah, Haedar Nashir, saat mengucapkan Selamat Hari Pers Nasional, menyatakan musuh terbesar pers saat ini adalah para buzzer media sosial. Dalam usaha mencerdaskan bangsa, ujar Haedar, fungsi pers—yaitu media cetak, televisi, radio, dan kini media daring—niscaya menjadi pranata sosial yang mengedukasi elite dan warga bangsa agar menjadi insan yang berpikir jernih, objektif, moderat, cerdas, beretika, dan berdaya kritis.
Alissa Wahid menyebut buzzer dengan digital mobocracy, demi kepentingan kekuasaan ngeroyok orang di dunia digital dan itu brutal. Menurut Alissa, perlu dibangun iklim tempat orang tidak takut berpendapat. Jangan sampai seperti teman-teman yang kritis, tiba-tiba ada kasus atau yang aneh-aneh.