PANDEMI covid-19 telah berlangsung lebih dari setahun. Bukan hanya pandemi, masyarakat mulai khawatir soal limbah atau sampah medis di fasilitas layanan kesehatan, seperti puskesmas, klinik, rumah sakit, dan Palang Merah Indonesia.
Di sejumlah daerah ditemukan dugaan timbunan limbah medis yang tidak terurus. Dinas Lingkungan Hidup Tulangbawang Barat, misalnya, akan memperketat pengawasan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) seluruh fasilitas layanan kesehatan. Dinas curiga pengelolaan limbah tidak melalui pihak ketiga.
Tidak terurusnya limbah medis memunculkan kekhawatiran dari aspek lingkungan ataupun kesehatan masyarakat. Sampah yang dihasilkan dari fasilitas layanan kesehatan harus dikelola sesuai aturan yang berlaku dan jangan ada penyelewengan limbah medis.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengenalkan mesin insenerator sebagai alat pengolah limbah medis. Alat ini digunakan untuk pengolahan limbah medis yang dihasilkan fasilitas layanan kesehatan. Limbah atau sampah, seperti jarum suntik bekas, kantong darah, dan limbah medis lainnya, bisa diproses dan diolah menjadi abu insenerator dan water scrubber.
Prosedur pengelolaan dan persyaratan teknis TPS limbah B3 medis sudah jelas diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. P56 Tahun 2015 dan juga pada Permenkes No. 7 Tahun 2019. Petugas kesehatan lingkungan masing-masing fasilitas layanan kesehatan masyarakat bisa mempelajari dan memedomani peraturan itu. Pengelola limbah medis mesti mematuhi aturan, yakni bekerja sama dengan perusahaan resmi agar tidak mencemari lingkungan dan menjadi penyebar penyakit menular.
IDI Bandar Lampung menyatakan seluruh rumah sakit milik pemerintah daerah tidak memiliki insenerator atau mesin pengelola limbah medis. Sekalipun ada, insenerator tidak lagi berfungsi. Untuk itu, pengelolaan limbah Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek menunjuk pihak ketiga, yakni PT Biuteknika Bina Prima selaku transporter, dan PT Wastec selaku pemusnah limbah.
Ketiadaan mesin pengolah limbah jelas menjadi persoalan tersendiri bagi pengelola rumah sakit. Hal inilah yang harus segera dicarikan solusinya. Terlebih situasi saat ini dalam masa pandemi covid-19. Limbah medis infeksius dari hasil tes cepat, tes antigen, maupun tes PCR harus dikelola dengan cermat dan tidak boleh dibuang sembarangan. Juga limbah yang dihasilkan dari pasien covid-19 yang menjalani rawat inap di rumah sakit rujukan.
Jika pengolahan limbah dilakukan sembrono, limbah infeksius tersebut sangat mudah menyebar dan menjadikan sumber penularan baru covid-19 di Lampung. Itu sebabnya, sebagai rumah sakit terbesar di provinsi ini, RSUDAM harus segera memiliki dan mengoperasikan sendiri insenerator.
Perlu dirumuskan kembali jenis mesin insenerator yang lebih modern dan penempatan lokasi agar tidak berada di tengah permukiman penduduk. Ketergantungan rumah sakit pemerintah kepada pihak ketiga bukan mustahil akan menimbulkan persoalan baru jika ada sengketa terkait kontrak kerja dan lain-lain.