Sudjarwo
Profesor Ilmu-Ilmu Sosial di FKIP Unila
Syahdan pada saat memberikan umpan balik usai ujian akhir semester pada mahasiswa program doktor di fakultas, seorang teman yang berperan sebagai anggota tim pengampu mata kuliah dan bergelar profesor memberikan komentar atas semua hasil akhir dari jawaban mahasiswa.
Beliau yang dikenal santun itu melabelkan bahwa ada kecenderungan jawaban yang diberikan mahasiswa berupa jawaban yang tidak menjawab. Mendengar komentar itu penulis langsung meminta izin untuk menjadikan tema sentral tulisan pada opini dan di hadapan sidang pembaca budiman. Oleh karena itu, tulisan ini berjudul seperti komentar profesor muda tersebut. Namun, masalahnya tidak sekadar pada jawaban persoalan akademik, tetapi lebih luas lagi dan itu dinamai samudera kehidupan.
Alasan Pembenar
Rangkaian peristiwa di masa pandemi covid-19 banyak membuat orang mengalami gagal paham. Gagal paham dalam memahami dan memberikan jawaban atas persoalan seputar covid-19. Dan jawaban yang disampaikan itu tidak menjawab persoalan. Justru memunculkan persoalan baru. Dengan meminjam istilah jargon dari satu perusahaan negara yang dipelesetkan ialah mengatasi masalah dengan masalah.
Covid-19 ternyata dijadikan alasan pembenar dari suatu jawaban yang tidak menjawab. Sebagai contoh dengan adanya pandemi banyak perusahaan yang memanfaatkan kesempatan untuk mengurangi jumlah karyawan. Alasan untuk bersih-bersih lembaga bagi mereka yang tidak disukai dan alasan ini menjadi tampak cantik dan benar secara hukum. Namun, sejatinya menjadi begitu sadis jika dipandang dari sudut perilaku kehidupan manusia, apalagi dilihat dari filsafat etika.
Bisa dibayangkan sesuatu yang tidak patut dilakukan menjadi sangat mudah diputuskan dengan menjadikan alasan Covid-19. Sempurnalah kebohongan menjadi penipuan sehingga tampak cantik permainan justifikasi itu.
Ironisnya, jawaban yang tidak menjawab ini dapat melanda lembaga mana pun, pendidikan apa pun, bahkan gelar akademik sekalipun. Seolah sisi musibah yang menjadi berkah ini dapat dilakukan untuk menutupi kesombongan, kecongkakan, dendam kesumat, dan masih banyak anomali lain yang dianggap sah untuk dilakukan.
Mumpung sedang di atas dan berkuasa. Seolah membuat kita dapat berbuat apa saja, kapan saja, dan kepada siapa saja. Sehingga yang ada di kepala hanya demi nikmat diri sendiri, meskipun apa yang dilakukan itu membuat sengsara orang lain. Libido seperti itu oleh Sigmund Freud dikategorikan sebagai tingkatan ego, yaitu tingkat kedua di antara id dan superego (diunduh 29 Januari 2021).
Ternyata kebohongan sempurna dapat terjadi seolah benar sempurna karena ada faktor pembenar yang dirasionalkan, sekalipun itu bukan kebenaran substantif. Pemecatan pegawai yang tidak disukai terbungkus rapi dengan pengurangan karyawan karena beban lebih terdampak covid-19. Pemotongan pendapatan untuk ketidaksukaan dan ketidakmampuan manajerial dapat di balik secara rapi menjadi pengurangan beban anggaran akibat covid-19.
Ternyata musibah membawa berkah itu benar adanya. Tinggal dari mana kita melihat. Bisa terjadi keberkahan itu justru menjadi musibah bagi orang lain. Oleh sebab itu, tidak salah jika ada seorang menteri harus masuk penjara karena mengalihfungsikan keberkahan menjadi kesengsaraan bagi orang lain. Tidak juga salah jika petugas penegak hukum menjebloskan ke penjara kepala daerah. Tindakan tegas itu dilakukan karena keberkahan yang dimiliki sang kepala daerah diubah menjadi keserakahan.
Ternyata jawaban yang tidak menjawab terkadang memang dikondisikan demi pemuasan libido sesaat yang sering berakhir sesat. Tampaknya itu merupakan harga yang harus dibayar secara kodrati karena sisi-sisi unggul secara pasti ada sisi-sisi lemahnya. Sebaliknya pada sisi kelemahan secara pasti pula ada sisi keunggulannya. Hanya memang, tidak semua orang mampu (waskita) membaca fenomena itu.
Mata Batin
Beberapa waktu lalu ada sahabat yang berkeluh kesah menyikapi kondisi saat ini yang sama sekali membuat dia tidak nyaman. Namun, beberapa saat kemudian ada sahabat yang mengaku mendapat keberkahan atas kondisi pandemi saat ini karena ia mendapatkan keuntungan berlipat.
Dunia ternyata dapat kita gambarkan seolah dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi saling melengkapi bahkan saling memberi makna. Namun, untuk membacanya diperlukan mata batin yang tajam. Sebab, jika kita terlalu erat memeluknya, kita akan ditikam dengan sadis. Sebaliknya, jika kita melepaskannya, kerugian dunia akhirat yang akan kita jumpai.
Tinggal bagaimana kita menentukan sikap secara arif bijaksana terhadap apa pun yang terjadi. Jawaban atas semua persoalan itu sudah tersedia. Tinggal mampukah kita menemukenali persoalan itu sehingga dapat memberikan jawaban. Bukan jawaban yang tidak menjawab, sekalipun jawaban yang tidak menjawab juga merupakan wujud dari jawaban.
Semua yang ada di dunia ini memiliki kata akhir, termasuk covid-19. Namun, kapan waktunya itu adalah milik Sang Pemilik Waktu. Bagi kita adalah bagaimana menjawab dari waktu yang disediakan ini untuk memuliakan sesama makhluk-Nya sehingga tidak menjadikan kerusakan di muka bumi.