Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah; Guru Besar Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
LANGKAH berani tapi egoistis Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain untuk melakukan perjanjian normalisasi dengan Israel cukup mengejutkan. Selama sekitar tiga dekade ini, negara-negara Arab cukup kompak dalam sikap mereka terhadap Israel.
Sikap mereka terhadap Israel selalu dikaitkan dengan nasib Palestina. Nasib Palestina hampir selalu jadi pertimbangan dalam keputusan negara-negara Arab terhadap Israel. Langkah kedua negara untuk melakukan proses normalisasi dengan Israel telah mengubah pakem itu.
Langkah ini, baik secara langsung maupun tidak, jelas memecah barisan negara-negara Arab dalam menyikapi Israel. Hal itu menunjukkan keberanian sekaligus kenekatan negara ini untuk mengambil langkah berbeda dalam berhubungan dengan Israel.
Sebagaimana luas diberitakan, UEA dan Bahrain telah menandatangani perjanjian normalisasi itu pada 15 September, di Gedung Putih. UEA dan Bahrain sepertinya cukup yakin bahwa langkah unilateral mereka itu tidak akan membuat mereka terkucil dalam pergaulan negara-negara Arab sebagaimana yang dialami Mesir pada 1979 dengan menandatangani perjanjian Camp David.
Faktanya, keyakinan itu benar adanya. Pertemuan darurat menteri luar negeri Liga Arab untuk merespons situasi itu tidak mengeluarkan satu kata kecaman pun terhadap langkah egoistis ini. Alih-alih melakukan kecaman terhadap langkah UEA dan Bahrain, kebanyakan pandangan pemimpin Liga Arab menegaskan secara tidak langsung bahwa sikap itu benar. Langkah itu dianggap hak UEA sebagai negara berdaulat untuk menentukan politik luar negeri mereka secara mandiri.
Jika pemimpin Liga Arab, yang tujuan organisasi ini didirikan untuk membangun kebersamaan Arab, saja sudah sedemikian, bisa dikatakan persatuan Arab untuk memperjuangkan Palestina kini tinggal ilusi. Yang ada adalah keterpecahan negara-negara Arab dalam berhubungan dengan Israel.
Tren kuat di bawah karpet dari negara-negara Arab adalah melakukan normalisasi terhadap Israel. Fakta bahwa Israel adalah negara paling maju di Timur Tengah dalam banyak bidang sulit dimungkiri. Oleh karena itu, kedua negara Teluk ituādan mungkin disusul sejumlah negara laināmulai bersikap realistis dalam berhubungan dengan Israel.
Sudan barangkali akan segera menyusul. Pertemuan pemimpin Sudan, Abdul Fatah Burhan, dan PM Israel Benjamin Netanyahu di Uganda awal Februari tahun ini menunjukkan indikasi kuat ke arah itu. Sekitar tujuh sampai delapan negara Arab lain terutama di Teluk sepertinya juga mengarah kepada hal yang sama.
Nasib Palestina
Normalisasi hubungan dengan Israel itu baik-baik saja. Idealnya, Israel, Palestina, dan negara-negara lain di Timur Tengah hidup rukun, berdampingan, bekerja sama, dan saling mendukung bagi keamanan, kemakmuran, dan kemajuan bersama kawasan itu.
Mereka sebenarnya saling membutuhkan. Mereka bisa membangun kawasan itu dengan lebih baik bersama-sama. Potensi kemajuan dan kemakmuran kawasan ini luar biasa. Bayangkan seandainya kekuatan modal negara-negara Arab Teluk, tenaga kerja melimpah, baik tenaga biasa maupun skill tinggi dari Mesir, Suriah, Maroko, dll; kemampuan teknologi Israel, Iran, dan Turki; dan potensi alam kawasan itu dikombinasikan untuk kemakmuran dan kemajuan kawasan.
Kawasan ini bisa melesat melampaui kawasan mana pun. Persoalannya terletak pada nasib Palestina jika negara-negara Arab melakukan langkah-langkah unilateral normalisasi semacam ini tanpa koordinasi dengan yang lain. Persoalan Palestina makin terabaikan. Harus diakui, sikap Palestina memang kurang aktif dalam mencari terobosan melalui perundingan. Mereka lebih banyak reaktif.
Penulis khawatir persoalan Palestina tidak terselesaikan dan mereka makin terkucil dalam pergaulan di kawasan. Mencermati pertemuan menteri luar negeri Liga Arab, kita mudah mengambil kesimpulan Palestina makin tak dihargai negara-negara Arab. Permohonan Palestina untuk mengecam tindakan unilateral UEA tidak digubris dan pemimpin Arab lebih antusias berbicara persoalan lain seperti masalah intervensi Iran dan Turki di negara-negara Arab.
Palestina juga harus menyadari realitas baru ini dan membangun strategi perjuangan yang cukup masuk akal dan realistis. Semakin menunda-nunda proses perdamaian, semakin kecil pula peluang mereka mewujudkan negara Palestina merdeka, dengan kriteria yang diinginkan.
Secara de facto, banyak wilayah Palestina yang terus terkurangi karena perluasan permukiman warga Israel di banyak sekali front. Secara de facto, dukungan yang serius dari negara-negara Arab terhadap perjuangan mereka juga makin mengecil.
Dukungan kuat dari banyak negara muslim dari luar kawasan itu bisa jadi tidak berarti apa-apa jika situasi di internal Palestina dan negara-negara Arab tidak mengalami perbaikan. Setelah mencermati situasi sekarang, penulis bisa mengatakan bahwa nasib perjuangan Palestina benar-benar wallahualam.