Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan; Pemerhati Masalah Kesehatan
INDONESIA kini berada dalam bulan keenam penanganan pandemi secara serius. Seriusnya dimulai pada awal Maret 2020, saat kasus pertama Covid-19 terkonfirmasi. Sebelum itu, pemerintah terkesan menyepelekan pandemi ini. Narasi dan aksi yang dilakukan sejumlah pejabat negara menunjukkan ketidakseriusan, meremehkan, dan terlalu percaya diri.
Enam bulan ialah saat tepat untuk melakukan evaluasi. Dalam periode enam bulan ini, berbagai negara telah meraih pencapaian berbeda. Sebagian negara telah melewati puncak gelombang dan telah melandaikan kurva epidemi, di antaranya Tiongkok, Qatar, dan Italia.
Sejumlah negara ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam, juga tergolong kategori ini. Sebagian negara lain telah melewati puncak gelombang dan dalam proses melandaikan kurva. AS dan Jepang berada pada kelompok ini.
Kategori lainnya ialah negara-negara yang hingga kini belum mencapai puncak pandemi. Mereka masih bergulat dengan jumlah kasus dan kematian yang masih terus meningkat. Indonesia dan India termasuk kategori ini. Enam bulan penatalaksanaan ternyata belum cukup bagi negara-negara ini mengontrol pandemi.
Indikator Keberhasilan
Performa penanganan Covid-19 selayaknya dievaluasi dengan indikator objektif, reliable, dan komprehensif, bukan indikator subjektif. Exemplar in Global Health (EGH) menggunakan empat indikator utama evaluasi penanganan pandemi, yaitu kemampuan mendeteksi (detection), menahan (containing), mengobati (treatment), dan mencegah (prevention).
Namun, karena pandemi masih berlangsung, indikator prevention masih belum applicable. Pada indikator detection, terdapat tiga subindikator: jumlah tes Covid-19 per kapita, jumlah tes per kasus terkonfirmasi, dan jumlah tes per kematian. Indikator containing meliputi empat subindikator: jumlah kasus per kapita, jumlah kematian per kapita, doubling time of cases, serta doubling time of death.
SEMENTARA itu, indikator treatment diterjemahkan sebagai case fatality rate. Jadi, keseluruhan terdapat delapan subindikator. Kedelapan indikator EGH bermanfaat untuk membandingkan performa suatu negara dengan negara lain.
Untuk alasan objektivitas, perbandingan perlu bersifat komparatif. Artinya, negara yang dibandingkan mesti memiliki kemiripan geografi, demografi, atau status sosial ekonomi. Untuk Indonesia, negara-negara pembanding dapat meliputi negara-negara ASEAN sebagai primary comparison serta India, Brasil, dan Bangladesh sebagai secondary comparison.
Indikator pertama, jumlah tes per kapita. Indikator ini memberi gambaran kasar tentang luas atau penyebaran tes Covid-19. Semakin banyak dan luas tes dilakukan, semakin baik karena memberi kesempatan lebih besar mengidentifikasi kasus.
Berdasar data EGH dalam satu minggu terakhir, rasio tes di Indonesia 6,28 per 1.000 penduduk. Ini ialah rasio terendah jika dibandingkan dengan negara-negara pembanding, seperti Malaysia (44,85), Thailand (6,31), dan Filipina (29,53). Ironisnya, jika dibandingkan bulan-bulan awal, tren perbedaan ini makin melebar.
Indikator kedua, jumlah tes per kasus terkonfirmasi. Nilai ini merefleksikan fokus strategi tes. Nilai rendah mengindikasikan tes lebih banyak dilakukan pada kelompok atau lokasi risiko tinggi saja, bukan pada masyarakat umum. Pada parameter ini, Indonesia mencatat nilai 7,1 per 1 kasus positif. Nilai ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Thailand (248,1), Malaysia (141,3), dan Filipina (11,4). Artinya, fokus tes di Indonesia masih terbatas pada kelompok atau lokasi risiko tinggi.
Indikator ketiga adalah jumlah tes per kematian. Analisis dilakukan dengan membandingkan jumlah tes dan kematian per 1 juta penduduk. Nilai terbaik yang diharapkan ialah jumlah tes yang tinggi disertai angka kematian yang rendah. Dalam grafik analisis, nilai terbaik ini berada kuadran kiri atas, sedangkan nilai terburuk pada kuadran kanan bawah. Sayangnya, posisi nilai Indonesia berada pada kuadran kanan bawah dengan rasio 36,94 kematian per 1 juta penduduk dan 6.706 tes per 1 juta penduduk. Negara-negara pembanding memiliki nilai yang lebih baik dari Indonesia.
Indikator keempat, rasio kasus per kapita penduduk. Nilai ini menunjukkan penyebaran kasus di populasi. Semakin tinggi nilainya, semakin tinggi tingkat penyebaran kasus. Indonesia mencatat 879,95 kasus per 1 juta populasi, lebih baik dari India (3.913,48), Filipina (2.586,76), dan Brasil (21.303,41). Nilai ini menjadi reliable apabila tes Covid-19 dilakukan secara luas. Sayangnya, tes luas ini tidak terjadi di Indonesia.
Indikator kelima, waktu yang dibutuhkan untuk penggandaan jumlah kasus. Ini menunjukkan tingkat penyebaran penyakit. Doubling time yang panjang menunjukkan transmisi penyakit yang rendah, sedangkan doubling time yang pendek menunjukkan penyebaran pandemi yang cepat, serta jumlah kasus yang meningkat cepat.
Doubling time of cases Indonesia ialah 42,57. Artinya, Indonesia memerlukan 42,5 hari untuk mendapat jumlah kasus dua kali lipat. Ini mengindikasikan jika Indonesia memiliki transmisi infeksi yang lebih tinggi.
Indikator keenam, kematian per kapita. Penggunaan indikator kematian per kapita memiliki kelebihan karena indikator ini lebih konsisten jika dibandingkan dengan indikator jumlah kasus dan nilainya kurang dipengaruhi apasitas testing. Kekurangannya ialah tiap negara memiliki kriteria berbeda dalam menentukan kematian Covid-19. Indonesia mencatat 35,38 kematian per 1 juta penduduk. Ini jauh lebih tinggi dari Malaysia (4,02), Thailand (0,84), dan Bangladesh (30,23).
Indikator ketujuh, doubling time of death, yaitu waktu yang diperlukan untuk memperoleh dua kali lipat jumlah kematian. Ini menunjukkan tingkat kecepatan kematian akibat Covid-19, serta kualitas pelayanan kesehatan yang tersedia. Nilai kecil mengindikasikan tingkat kematian yang terjadi lebih cepat dan kualitas pelayanan kesehatan tidak adekuat. Sayangnya, Indonesia memiliki doubling time of death yang kecil (42,68 hari).
Indikator kedelapan, case fatality rate. Ini menunjukkan rasio orang meninggal jika dibandingkan dengan orang terkonfirmasi positif. Nilainya bergantung fokus testing dan demografi penduduk. Bila fokus tes kebanyakan pada orang yang berisiko tinggi serta dilakukan pada aging population, case fatality rate akan meningkat. Jika dibandingkan dengan rasio kematian per kapita, case fatality rate lebih sensitif. Pada indikator ini, nilai Indonesia ialah 3,9%; jauh lebih tinggi dari Malaysia (1,27%), Filipina (1,73%), dan Thailand (1,68%). Artinya, penduduk Indonesia yang terkonfirmasi positif lebih banyak yang mengalami kematian.
Harus diakui pemerintah telah berupaya melakukan berbagai hal untuk penanggulangan pandemi, termasuk emergency response, surveilans, testing, tracing, treatment, dan menjaga stabilitas ekonomi.
Sayangnya, hasilnya belum memadai apalagi memuaskan. Setidaknya, pada enam dari delapan indikator EGH, Indonesia terseok-seok jika dibandingkan dengan negara pembanding. Sisanya, Indonesia sedikit lebih baik dari satu dan dua negara pembanding.
Artinya, secara keseluruhan rapor penanganan pandemi Indonesia masih merah. Bila pemerintah telah berupaya dan melakukan berbagai hal sementara hasil yang didapatkan masih belum memuaskan, ini sinyal bahwa program-program yang dilakukan belum tepat, efektif, dan optimal. Untuk itu, pemerintah perlu mengevaluasi secara objektif semua program yang sudah dilakukan.