Sobih AW Adnan
Wartawan Lampung Post
ISENG-ISENG, saya pernah menulis di dinding Facebook, bunyinya, “Pelakor itu istilah menang sendiri. Sebab, biasanya, justru bermula dari laki-laki yang tak tahu diri.”
Responsnya, bermacam-macam. Banyak yang mengiyakan, ada pula yang menyangsikan. Yang tidak sepakat, bilang, sebutan itu memang cocok untuk perempuan yang kecentilan. Mendengar itu, kening saya makin mengernyit. Benarkah centil, ganjen, gatal, serta sejajarnya memang berhubungan erat dengan identitas laki-laki dan perempuan yang tidak bisa dipertukarkan?
Perkara “pelakor” ini, bisa dikomentari dalam rentetan episode yang lumayan panjang. Namun, secara singkatnya, bisa dibidik dari sudut bahasa, logika, dan rasa keadilan.
Dari sudut pandang bahasa, pelakor muncul sebagai akronim dari “perebut laki orang”. Kata pertamanya saja sudah bermasalah. Sebab, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “rebut” disetarakan dengan rampas, yakni mengambil paksa, dilengkapi penegasan; (barang orang).
Sediam apa laki-laki, terlebih yang sudah sah menjadi suami orang itu masih bisa diperebutkan? Jika cuma bisa bergeming, masa iya layak menjadi rebutan.
Ditimbang secara logika, istilah pelakor biasanya menyemburat mengiringi kasus-kasus perselingkuhan. Selingkuh, dalih paling mendingnya adalah perkara cinta. Sementara cinta, yang berlanjut hubungan manis; tentu butuh kesalingan. Andai saja pacaran tidak butuh pengakuan, berapa juta pria akan gampang mengklaim diri sebagai pacar Agnes Mo atau pun Raisa?
Penggunaan istilah pelakor juga mengusik rasa keadilan. Mengapa cuma perempuan yang jadi sasaran? Padahal, aksi goda-menggoda yang menjadi pintu gerbang persoalan itu malah lebih berpotensi dilakukan sang pria.
Untuk sisi ini, sekeliru apa pun perselingkuhan, tetapi masih lebih adil saat diungkap melalui sebutan WIL atau PIL, singkatan dari wanita/pria idaman lain. Kedua istilah ini tampak lebih jujur tanpa ditambah-tambah dengan menyalahkan pihak lain.
Perselingkuhan memang perkara pelik, tetapi gampang membuat yang mendengarnya terpancing dan tertarik. Padahal, yang lebih perlu diingat adalah persoalan itu lahir di wilayah privasi dengan proses penyelesaian yang sangat membutuhkan keluasan hati dari kedua pihak, bukan dari yang lain.
Celakanya, problem-problem perselingkuhan seakan-akan sengaja di-endorse oleh kalangan selebritas. Ganti pekan ganti bulan, ada saja isu baru yang hadir hingga turut memancing komentar banyak orang.
Parahnya lagi, ada pula yang mengomentari kasus perselingkuhan dengan membabi-buta memenangkan posisi pria. Katanya, secara tradisi dan agama, laki-laki memang dari sononya diperbolehkan punya lebih dari satu istri. Padahal, dalil itu harus dipahami secara menyeluruh, bukan hanya dalam rangka membenarkan sikap untuk menyakiti atau menuruti nafsu dalam hati.