PAGI itu aku dikirimi pesan melalui WhatsApp (WA) oleh seorang teman di parlemen Lampung, isinya: “Lah nian apo, Lur?” Pesan tersebut didahului gambar meme seorang ilmuwan barat berambut putih disertai Fatwa MUI yang berkampanye hitam. Lalu pesannya itu, kujawab begini; “Kok fatwa dari ilmuwan barat? Apa ndak salah, Mas Bro?”
Temanku tadi membalasnya, “Aku itu dapat dari kiriman kau di Facebook (FB).” Akupun kaget. Langsung kujawab: “Wah artinya Facebook-ku diretas. Aku ndak pernah ngirim-ngirim barang semacam itu.” Diapun membalas lagi, “Nah itu dia, makanya kukirim ke WA-mu.”
Jangan sampai Facebook-ku dimanfaatkan kelompok memecah belah dan mengumbar ujaran kebencian. Pagi itu juga aku menulis status di dinding FB tentang kejadian mengirim gambar meme yang berisi mengajak untuk tidak memilih salah seorang calon presiden. Sepertinya Pemilu 2019 di negeri ini bakal disihir bergaya pemilihan presiden (pilpres) di Amerika.
Kian hari di negeri ini kian masif menebar ujaran kebencian dan fitnah. Menjelang memasuki masa kampanye Pilpres 2019, cara-cara berpolitik menghalalkan semua cara kian marak , tanpa tedeng aling-aling lagi. Calon presiden (capres) petahana Joko Widodo (Jokowi) pun menanggapinya. Ada dua kali pernyataan Jokowi terkait kampanye hitam.
Pertama, usai menghadiri Trade Expo di ICE, BSD, Tangerang Selatan, Rabu (24/10/2018), Presiden Jokowi mengingatkan anak bangsa agar berhati-hati karena banyak politikus sontoloyo. Maksud politikus sontoloyo adalah menebar politik kebencian, SARA, adu domba, dan politik pecah belah. Tak hanya berhenti di situ, Presiden pun kembali menyentil dengan sebutan politik genderuwo.
Politik Genderuwo
Istilah politik genderuwo disampaikan Presiden pada acara pembagian sertifikat tanah untuk masyarakat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11/2018). Politik genderuwo dilakukan propaganda yang sengaja menakut-nakuti rakyat. Sehingga timbul kekhawatiran, ketidakpastian, terakhir jadi keragu-raguan di masyarakat.
Politik sontoloyo dan genderuwo terus dikibarkan dalam upaya mengeruk keuntungan—meraih kemenangan. Dengan menghalalkan segala cara dan tidak beradab. Cara-cara berpolitik yang dibangun atas dasar kebencian itu, bahkan kebohongan efektif menggaet pemilih. Adalah Donald JohnTrump, presiden Amerika Serikat (AS), contohnya.
Artikel Dromologi Kebohongan ditulis Medhy Aginta Hidayat, alumnus doktor sosiologi Universitas Missouri, AS, mengungkapkan dengan gamblang bahwa Trump memanfaatkan logika dromologi kebohongan untuk meraih kursi presiden. Dromologi yang berasal dari bahasa Yunani itu, artinya, semesta berpikir yang digerakkan prinsip kecepatan.
Tidak terbantahkan. Pengakuan seorang direktur kampanye digital Donald Trump pada Pilpres 2016, Brad Parscale, bahwa timnya dengan sengaja menyebarluaskan berita bohong (hoaks) secara masif dan berulang melalui media sosial (Facebook) sebagai strategi meraih kemenangan. Hasilnya cukup gemilang. Trump terpilih menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat.
Penelitian
Hasil penelitian diterbitkan Facebook menyebutkan, peredaran informasi dan berita palsu di jejaring sosial meningkat tajam menjelang Pilpres Amerika pada 2016. Suami mantan model Slovenia-Amerika, Melania tidak berhenti menebar hoaks. Saat menjadi presiden pun, Trump masih doyan memanfaatkan logika dromologi kebohongan untuk kekuasaannya.
Berkaitan hal itu, Rusia dituduh melakukan manipulasi melalui kampanye propaganda berskala besar yang mendukung Trump hingga akhirnya jadi presiden. Koran terkemuka di Negeri Paman Sam, The Washington Post edisi 1 Agustus 2018 mencatat, Trump telah membuat 4.229 klaim keliru— menyesatkan publik Amerika. Kekeliruannya itu dicatat sejak diangkat menjadi presiden pada 20 Januari 2017 hingga saat ini.
Berita bohong yang disebar itu kian masif karena menggunakan teknologi informasi di ruang media sosial. Pastinya berita bohong laris manis karena menggoda emosi dan perasaan. Pemilih tidak lagi menggunakan fakta dan data dalam menguji berita yang disebarluaskan. Kebohongan itu berdaya jangkau cepat tanpa pernah terbayangkan sebelumnya.
Cara-cara dromologi kebohongan ternyata sudah menyelimuti kampanye pemilihan presiden di Indonesia.
Hasil kebohongan selama kampanye Pilres 2016 dituai Trump. Dalam Pemilu Sela yang berlangsung pada 6 November 2018, Partai Republik yang mengusung Trump menjadi presiden menelan kekelahan dari Partai Demokrat di Kongres AS. Kekalahannya itu wujud dari politik intimidasi yang dibangun Trump sendiri. Rakyat Amerika muak dan sadarkan diri.
Trump mengumbar kebencian sejak kampanye hingga berkuasa di Gedung Putih. Media sosial seperti Facebook dan Instagram dengan sadar pula memblokir 30 akun dalam platformnya dan 85 akun lain pada jejaring sosial menjelang pemilu paruh waktu itu. Ini jadi pukulan telak Trump.
Mengapa? Sebab, Pemilu Sela menjadi saluran gelombang ketidakpuasan rakyat terhadap kebijakan Trump. Presiden ke-45 senang menebar politik rasial, kebencian, kebohongan, serta memecah belah. Akankah pilpres di negeri ini akan bergaya seperti Amerika? Cara-cara dromologi kebohongan ternyata sudah menyelimuti kampanye pemilihan presiden di Indonesia.
Waras
Rakyat berpikir waras dan jangan mau dibohongi. Mengubar kebencian sesama anak bangsa harus dihentikan. Tanah Air–Bumi Pertiwi Indonesia ini dibangun dengan narasi kesejukan, optimisme, menyatunya budaya dan adat yang berbeda. Apalah gunanya kalau negeri ini jadi hancur lebur.
Saatnya negeri ini menegakkan hukum serta membunuh akun palsu yang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian di media sosial. Dan saatnya pula anak bangsa memperoleh pendidikan literasi digital dalam kurikulum. Sehingga tidak terjerembap kepentingan sesaat hasil retorika politikus sontoloyo dan genderuwo.
Sadar atau tidak, anak bangsa sudah terbawa ke isu-isu ketidakpastian yang mengeksploitasi emosi. Rakyat tidak lagi menggunakan logika berpikir. Kampanye memanipulasi fakta dan data yang terus ditebar hanya untuk meraih kemenangan. Celakanya rakyat menjadi tidak waras dibuatnya.
Itulah gaya kampanye logika dromologi kebohongan dalam merebut simpati pemilih. Apakah ratusan juta anak bangsa di negeri ini mau dibuat seperti Pemilu Presiden Amerika? Jawabnya, pasti tidak! Karena rakyat sendiri yang akan menanggung akibatnya. ***