Aartje Tehupeiory
Dosen dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Indonesia
SERTIFIKAT tanah merupakan tanda bukti hak atas tanah yang sudah dibukukan dalam buku tanah yang diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak atas tanah yang dimiliki seseorang, sesuai dengan data: a) fisik (pemetaan) yang terdiri atas letak tanah, batas-batas tanah, luas tanah, termasuk bangunan dan/atau tanaman yang ada di atasnya; b) data yuridis berupa, pertama, status tanahnya (jenis haknya), misalnya status hak milik, hak pakai, dan sebagainya.
Kedua, subjeknya: WNI, WNA, badan hukum Indonesia/asing. Ketiga, hak-hak pihak ketiga yang membebaninya. Keempat, jika terjadi peristiwa hukum, wajib didaftarkan.
Bentuk penyajian data fisik dan data yuridis dituangkan dalam buku tanah. Dalam mewujudkan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan pada masa covid-19 saat ini, pemerintah mengambil kebijakan berupa kemudahan dalam pelayanan publik, yakni melalui sistem digital-elektronik.
Pemanfaatan teknologi digital ini menjadi sorotan khusus karena semua sertifikat tanah asli akan ditarik mulai tahun ini. Hal itu menjadi kekhawatiran masyarakat terkait dengan eksistensi setifikat tanah. Namun, kekhawatiran ini direspons pemerintah dengan mengganti sertifikat tanah yang lama dengan sertifikat elektronik, atau disebut sertifikat-el, sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang (Permen ATR) No. 1/2021 tentang Sertifikat Elektronik.
Adapun tujuan pembuatan sertifikat elektronik untuk meningkatkan indikator berusaha dan pelayanan kepada masyarakat. Hal itu ditempuh dengan terlebih dahulu membuat validasi sertifikat tanah sebelumnya dari sisi data, ukuran tanah, dan sebagainya.
Setelah validasi selesai, barulah sertifikat tanah yang lama diganti dengan sertifikat elektronik dan disimpan di database menuju ke alamat penyimpanan masing-masing. Nantinya, masyarakat pemilik tanah bisa mencetak sertifikat miliknya kapan saja dan di mana saja sesuai dengan kesatuan yang diatur di Pasal 16 Permen ATR Nomor 1/2021 itu.
Adapun isi dari pasal tersebut ialah sebagai berikut: A) Penggantian sertifikat menjadi sertifikat-el termasuk penggantian buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah satuan rumah susun menjadi dokumen elektronik. B) Penggantian sertifikat-el sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dicatat pada buku tanah, surat ukur dan/atau gambar denah satuan rumah susun.
Lalu, C) Kepala Kantor Pertanahan menarik sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkat pada Kantor Pertanahan. D) Seluruh warkat sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), dilakukan alih media (scan) dan disimpan pada pangkalan data.
Faktor Keamanan
Ketentuan itu dapat disambut dengan positif. Namun, yang menjadi permasalahan ialah jaminan keamanan data elektronik sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk itu, masih terdapat pro-kontra dalam penilaian sertifikat elektronik yang dikelola oleh BPN tersebut.
Secara positif, akses sertifikat elektronik dapat dengan mudah digunakan oleh setiap kepentingan hak atas tanah dan kepentingan pihak lain. Namun, di sisi lain secara negatif, pembuktian merupakan faktor yang sangat penting. Mengingat data sistem IT (sistem elektronik) belum terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia. Namun, dalam kenyataannya data dimaksud juga sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik (delik/kejahatan terhadap data yuridis dan data fisik).
Oleh karena itu, untuk menjamin keamanan data elektronik, dalam hal pengakuan terhadap bukti kepemilikan hak atas tanah, yaitu dengan membangun database pertanahan secara nasional dan mem-backup data dengan catatan bahwa informasi yang dimuat dalam sertifikat elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah dan dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Karena itu, A) Bukti kepemilikan hak atas tanah (sertifikat elektronik) harus ada di database BPN dan harus teraplikasi dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan penghormatan terhadap pemegang hak atas tanah yang mempunyai iktikad baik sehingga dengan mudah memperoleh data yang dapat dipercayai kebenarannya.
- B) Perlu kerja sama pihak-pihak terkait dengan menguatkan komitmen aparat penegak hukum (BPN, kepolisian, kejaksaan) untuk melindungi bukti kepemilikan hak atas tanah dalam bentuk digital yang sangat rentan untuk diubah, disadap dan dipalsukan, serta menghentikan pungutan liar pada pelayanan pertanahan.
- C) Perlu dibuat dan dipertajam sinkronisasi hukum antara hukum pertanahan dengan hukum teknologi informasi serta hukum pidana yang berkaitan dengan masalah pembuktian kepemilikan hak atas tanah.
- D) Pengawasan dilakukan oleh masyarakat, dengan memastikan apakah kebijakan Kementerian ATR/BPN dalam layanan pertanahan yang sudah memenuhi komponen-komponen dalam standar pelayanan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga masyarakat mendapatkan haknya. Oleh karena itu, pembenahan pemetaan dan pendataan tanah di seluruh Indonesia yang akurat harus diadakan agar tidak terjadi tumpang-tindih kepemilikan sengketa tanah dll.