H. Bambang Eka Wijaya
SURVEI global kepercayaan publik terhadap media massa yang dilakukan Elderman 2021, dari 27 negara yang disurvei, Indonesia meraih skor tertinggi (72). Hal itu lebih tinggi dari Tiongkok (70), India (69), Singapura dan Malaysia (62), serta Belanda dan Thailand (61).
Skor kepercayaan publik terhadap media massa yang diraih Indonesia itu luar biasa. Sebab, dilihat dari hasil survei tersebut secara global menunjukkan penurunan yang signifikan hingga melampaui ambang batas dipercaya, skor 60.
Media massa (mainstream) mencatat skor 53, dari 61 pada 2020 dan 65 pada 2019. Sementara kepercayan publik terhadap media sosial jauh lebih buruk lagi, pada skor 35 di 2021, dari 40 pada 2020 dan 43 pada 2019.
Survei itu menemukan 59% responden menilai media massa bersikap bias, tidak lagi independen sebagaimana mestinya. Wartawan dinilai secara sengaja menyesatkan audiensi dengan menyampaikan berita yang mereka tahu salah atau berlebihan.
Selanjutnya, 59% responden menilai media massa lebih mendorong audiensi untuk dukungan ideologi dan kepentingan politik, ketimbang kepentingan nyata masyarakat. Bahkan, 61% responden menilai media massa tidak objektif dan partisan.
Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry CH Bangun, dalam Seminar Hari Pers Nasional menyampaikan hasil survei Dewan Pers mengukur pilihan sumber informasi yang digunakan masyarakat. Hasilnya, sumber informasi responden adalah media daring 26,6%, WA 22,75%, Instagram 13,70%, Facebook 12,65%, televisi 11,08%, Twitter 4,7%, surat kabar 3,43%, dan YouTube sebanyak 2,65%.
Adapun untuk mengecek kebenaran informasi, responden melalui media daring 41,70%, televisi 27,06%, dan surat kabar 6,43%. Kemudian WA 4,78%, YouTube 4,48%, Twitter 3,29%, mingguan 2,70%, Instagram 2,69%, dan Facebook 1,49%. (BeritaSatu, 4/2/2021)
Masih tetap tingginya kepercayaan publik kepada media mainstream di Indonesia, tertinggi di dunia, menjadi anomali dengan pilihan sumber informasi masyarakat yang lebih cenderung ke media sosial. Jawabnya, karena teknologi berubah dari sistem komunikasi broadcasting menjadi sistem broadband. Dalam sistem broadcasting, satu sumber mendikte jutaan audiensi. Sementara dalam broaband jutaan sumber melayani satu audiensi. Audiensi dimanja kemudahan dan banyaknya pilihan.
Terjadi anomali karena media mainstream masih memakai pola broadcasting, yang lebih mudah dimanfaatkan penguasa autoritarian. Sementara publik memilih broadband, yang lebih sesuai dengan semangat zaman, demokratis.