Ferdinandus S Nggao
Kepala Kajian Kebijakan Sosial Lembaga Manajemen FEB UI
BELAKANGAN ini publik disuguhi berita tentang kasus korupsi dana investasi BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek). Kejaksaan Agung sendiri sedang melakukan pendalaman atas kasus tersebut.
Dugaan ini berawal dari adanya penurunan aset yang diinvestasikan dalam saham dan reksa dana. Muncul perdebatan, apakah penurunan aset ini masuk kategori tindak pidana korupsi atau tidak. Publik masih menunggu proses hukum, untuk menentukan apakah ada kesalahan dalam pengelolaan investasi atau apakah kesalahan tersebut dikategorikan korupsi.
Menariknya, kasus ini muncul bersamaan dengan pergantian direksi BP Jamsostek. Kendati belum ada kepastian kesalahannya, kasus ini tentu menjadi pengingat bagi direksi yang baru.
Pengelolaan Investasi
Pengelolaan investasi merupakan salah satu tantangan bagi direksi baru. Dana yang begitu besar, sekitar Rp486 triliun, sangat menggoda bagi siapa saja yang ingin mencari keuntungan pribadi atau kelompok. Oleh karena itu, dibutuhkan pengelola yang berintegritas tinggi.
Investasi merupakan jantung kehidupan penyelenggaraan jaminan sosial ketenagakerjaan. Kesalahan investasi akan berdampak buruk pada kinerja keuangan. Dalam konteks ini, tantangan berikutnya ialah menjaga keamanan dan stabilitas keuangan jangka panjang.
Dari data keuangan, BP Jamsostek saat ini mampu memenuhi kewajiban kepada peserta. Namun, dalam jangka panjang ada yang harus diwaspadai. Keamanan dana harus dilihat setiap program karena dalam regulasi tidak diperbolehkan melakukan subsidi antarprogram. Artinya, defisit salah satu program, tidak boleh ditutupi surplus program lain.
Dari keempat program, jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP) yang perlu mendapat perhatian. Kedua program ini, memiliki kewajiban (liabilitas) yang harus diantisipasi. Sejauh ini, program jaminan kecelakaan kerja (JKK) dan jaminan kematian (JKM) sangat baik. Dalam periode 2016ā2019, hasil investasi kedua program ini lebih besar dari pembayaran manfaat (klaim) per tahun. Pembayaran klaim kepada peserta bisa dipenuhi dari hasil investasi.
Adapun hasil investasi JHT, sejak 2018 lebih kecil daripada pembayaran klaim dan selisihnya tambah lebar di 2019. Tahun 2018, hasil investasi JHT Rp20 triliun, sedangkan pembayaran klaim Rp22 triliun. Tahun 2019, hasil investasi Rp21 triliun, sedangkan pembayaran klaim Rp27 triliun. Artinya, ada dana iuran yang terpakai untuk membayar klaim, yang pada gilirannya akan menekan pertumbuhan akumulasi dana yang diinvestasikan.
Pembayaran klaim JP selama ini relatif kecil. Hasil investasinya jauh lebih besar daripada pembayaran klaim per tahun. Namun, kewajiban jangka panjangnya sangat besar yang akan terasa ketika makin banyak peserta memasuki usia pensiun. Apalagi, skema pensiun yang dianut adalah pendanaan sebagian (partially funded). Oleh karena itu, perlu ada terobosan untuk menghindari defisit pada program JHT dan JP.
Cakupan Kepesertaan
Selain aspek keuangan, ada beberapa tantangan lain yang akan dihadapi direksi baru. Pertama, peningkatan cakupan kepesertaan. Tantangan ini penting mengingat tujuan pendirian BP Jamsostek adalah memberikan perlindungan kepada semua pekerja. Artinya, kinerja BP Jamsostek tidak hanya dilihat dari aspek keuangan, tetapi juga cakupan kepesertaan.
Jumlah peserta BP Jamsostek terus tumbuh, dari 19,275 juta pada 2015 menjadi 34,166 juta di 2019 atau meningkat 77,26%. Namun, masih terdapat penduduk yang masuk kategori pekerja yang belum dijangkau.
Mengacu pada data BPS, total penduduk yang bekerja per Agustus 2019 mencapai 126,515 juta jiwa. Dengan demikian, total peserta aktif program Jamsostek baru mencapai 27,01% dari total penduduk yang bekerja. Kalau kita bandingkan dengan total pekerja formal, cakupan kepesertaan program mencapai 66,15%. Belum semua pekerja formal terjangkau program Jamsostek.
Di samping itu, keikutsertaan pemberi kerja juga masih relatif kecil. Tahun 2019, pemberi kerja aktif tercatat 681.429. Padahal, mengacu pada data BPS, tahun 2019 total penduduk yang mempekerjakan pekerja tetap sebanyak 4,363 juta orang.
Kepatuhan pemberi kerja dan perluasan cakupan ke pekerja bukan penerima upah (informal), tentu menjadi pekerjaan rumah yang besar. Diakui, upaya ini tidak menjadi tanggung BP Jamsostek semata, tetapi perlu keterlibatan berbagai elemen masyarakat. Namun, BP Jamsostek sebagai penyelenggara tetap berperan sebagai penggerak utama.
Tantangan kedua, penyelenggaraan program baru, yaitu jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Pemerintah sedang menyiapkan regulasi sebagai acuan pelaksanaannya. Sebagai penyelenggara, BP Jamsostek harus menyiapkan diri.
Ketiga, pengalihan program Jamsostek dari PT Asabri (Persero) dan PT Taspen (Persero), yang harus dilakukan paling lambat 2029 sesuai amanat UU No. 24/2011 tentang BPJS dan UU No 40/2004 tentang SJSN.
Saat ini, pengalihan tersebut sedang digugat di Mahkamah Konstitusi. Namun, BP Jamsostek perlu mengantisipasi jika gugatannya ditolak. Waktu tersisa terbilang pendek, mengingat banyak hal yang harus disiapkan baik regulasi maupun penyelenggaraannya. Kita berharap direksi baru bisa mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi agar program Jamsostek berjalan sesuai misi yang diamanatkan UUD 1945.