PENGADAAN barang kebutuhan hidup idealnya berkualitas, sesuai dengan legalitas, dan standar teknik. Meski dijual mahal, asalkan aman dan nyaman digunakan, tentu tidak akan terkendala dalam distribusinya.
Apalagi membangun rumah secara massal dan komersial, jangan dibuat secara asal. Tanpa memperhatikan aspek legal, teknik, juga dampak lingkungan yang menyertainya. Setelah timbul masalah, baru sadar dan segera diperbaiki agar tidak ada sanksi hukum formal maupun sosial.
Secara hukum formal, pemerintah memberi acuan dalam tentang syarat-syarat itu. Misalnya di Kota Bandar Lampung terdapat Perda 7/2014 tentang Bangunan Gedung. Pada Pasal 42 aturan itu, semua bangunan harus memiliki syarat keandalan bangunan meliputi keselamatan, kesehatan, kemudahan, dan kenyamanan.
Kejadian ambruknya bangunan di Perumahan Citraland, pada klaster Davinci yang terletak di Kelurahan Sukadanaham, Tanjungkarang Barat memberi gambaran syarat kajian yang asal. Alhasil, Pemprov Lampung merekomendasi Pemkot Bandar Lampung menyetop kelanjutan pembangunan di sana. Terutama pembangunan 215 rumah sisa di klaster Picasso yang rencananya dibangun 282 unit.
Bukan sekadar menyetop, pemerintah daerah meminta developer mengkaji ulang secara teknis bangunan di sana. Sebab, ada temuan bangunan yang ambruk akibat prosedur teknis dan konsultasi dengan instansi terkait tidak berjalan baik. Akibatnya ambruk bangunan rumah disertai longsor dan berdampak pada kerusakan aset milik warga sekitar.
Tragedi bangunan ambruk di perumahan yang sebagian besar berlokasi di Kelurahan Sukadanaham, Tanjungkarang Barat, berdasar pada citra satelit dan sebagian kecil di Kelurahan Sumurputri, Telukbetung Selatan (sebelumnya Telukbetung Utara) disoroti Pemprov. Pemprov menyatakan kasus ambruk rumah mewah senilai Rp800 juta per unit di Perumahan Citraland menjadi pelajaran penting dalam penerbitan izin pembangunan.
Bahkan, rekomendasi Pemprov terkait kajian teknis dan komunikasi dengan Dinas Lingkungan Hidup mengisyaratkan ada kenakalan developer terkait perizinan lingkungan. Sebab, lokasi perumahan itu sebagian besar berada di kawasan peruntukan resapan air seperti diatur dalam Perda 10/2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung.
Apa yang dinyatakan Pemkot bahwa zonasi perumahan Citraland sesuai dengan peruntukan harus dikaji ulang. Sebab, dalam Perda RTRW itu, Kelurahan Sukadanaham, Tanjungkarang Barat, menjadi salah satu kawasan resapan air. Dalam citra satelit, klaster Picasso dan Michel Angelo berada di kelurahan itu, hanya klaster Davinci yang berada di Kelurahan Sumurputri.
Jelaslah ini menjadi masalah yang benar-benar harus dipelototi instansi yang mengeluarkan perizinan. Jangan sampai izin keluar hanya berpatokan pada gerbang masuk perumahan dan salah satu lokasi klaster. Sementara lokasi lainnya terletak di kawasan berbeda dengan risiko teknis yang berbeda.
Sudahlah risiko teknis lebih tinggi di kawasan klaster Picasso, teknis membangunnya dengan asal dengan mendirikan rumah di urukan tanah. Padahal developer sadar mereka membangun perumahan komersial yang mengedepankan kepercayaan publik.
Tidak ada satu pun manusia mau tinggal di rumah mewah yang tidak aman dan mudah roboh. Kajian yang dilakukan serta komunikasi dengan instansi terkait menjadi solusi untuk memperbaiki kenakalan membangun perumahan secara asal.