Febi Herumanika
SIDANG lanjutan perkara pemalsuan menu makanan daging sapi wagyu Darlene’s Steak Resto kembali digelar di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Selasa (6/10). Dalam persidangan yang digelar secara daring itu terungkap bahwa seluruh perizinan yang seharusnya dilengkapi oleh terdakwa Sulantif Teja selaku pemilik usaha resto tersebut bermasalah. Perizinan yang bermasalah diantaranya izin sumur bor, perizinan alat timbang atau metrologi dan surat izin lainnya.
Hakim Efiyanto membenarkan dari pemeriksaan saksi bahwa daging yang dijual berasal dari PT Santosa Agrindo (Santori) anak perusahaan PT Japfa Comfeed Indonesia. Dalam dakwaan jaksa disebutkan, daging yang dijual bukanlah daging wagyu melainkan daging hasil persilangan sapi Australia. Hakim Efiyanto menegaskan dalam perkara ini yang harus fokus dibahas bukan mengenai daging wagyu namun keseluruhan persoalan izin usaha tersebut “Bukan masalah itu (daging wagyu) ini kan masalahnya tidak ada izin. Sumur bor, timbangan nggak ditera juga persolan surat restoran Darlene’s Steak Resto banyak yang mati,” kata dia di persidangan.
Mengenai daging palsu yang ada didalam dakwaan jaksa terbukti tidak ada di persidangan, meski pun itu ada tetapi pengusaha tidak memiliki izin penjualan. “Tidak ada izin untuk jualan lah begitu. Daging itu dari Tangerang bukan dari Lampung yang jual khusus daging wagyu. Itu bibit sapi Jepang yang dibesarkan di Australia,” ujar dia.
“Jadi bukan dagingnya yang tidak ada izin. Darlene’s Steak ini tidak punya izin untuk jualan daging, termasuk semua jualannya gak cuma daging aja semuanya tidak ada izin,” tambah dia.
Di dalam persidangan, Jaksa dan penasehat hukum secara bergantian bertanya kepada terdakwa mengenai permasalahan yang menyeretnya ke meja hijau tersebut.
Jaksa Sabi’in mempertanyakan persoalan sumur bor yang tidak berizin. “Dalam BAP ini ada pertanyaan mengenai sumber air sumur bor apakah memiliki izin?” Kata jaksa.
Terdakwa dalam keterangannya kemudian menyebutkan, persoalan sumur bor yang dipermasalahkan dalam dakwaan memang benar tidak berizin. “Tidak ada izin,” jawab terdakwa.
Mengenai timbangan daging dijelaskan juga bahwa tidak ada sertifikat dan timbangan selalu diganti, Jaksa mempertanyakan sudah berapa kali ganti sejak 2018. Mendengar pertanyaan itu terdakwa menjawab tidak menghitung berapa kali ganti timbangan.
“Timbangan itu selau ganti setiap rusak ganti, sudah berapa tidak tahu tidak menghitung,” kata terdakwa.
Penyuplai Daging
Sementara itu Hakim Ketua Efiyanto mengungkapkan daging wagyu yang dijual resto tersebut dibeli dari PT Santori seharga Rp800ribu perkilo dan dijual Rp325 ribu per porsinya.
“Bukan masalah itu (daging wagyu) ini kan masalahnya tidak ada izin.”
Pihaknya meminta jaksa menghadirkan penyuplai daging kepada restoran milik terdakwa di persidangan. “Saksinya masih banyak sidang restoran ini. Saya rasa ada saksi dari penyuplai daging ke restoran tersebut yang didatangkan menjadi saksi. Sidang ini masih panjang belum penyuplai daging,” ujar Hakim Ketua Efiyanto.
Sebelumnya diberitakan Lampung Post, LBH Bandar Lampung menilai kasus ini tidak masuk ranah undang-undang konsumen, tetapi masuk perkara penipuan. Direktur LBH Chandra Muliawan menjelaskan jika daging atau menu makanan yang dijual tidak sesuai dengan menu makanan yang disediakan hal ini mengarah ke dugaan penipuan, karena yang dirugikan di dalam perkara ini konsumen yang tertipu menu makanan yang dijual.
Di dalam persidangan pun, kata Chandra, menjadi hal yang janggal jika penyuplai daging tidak menjadi saksi nantinya, karena jika daging ini dipalsukan tanpa sepengetahuan pemilik restoran, yang pantas menjadi tersangka utama dalam kasus ini adalah pihak penyuplai dari daging tersebut.
“Kalau pihak restoran sudah mengetahui bahwa daging itu bukan daging mahal, tetapi dijual dengan harga yang mahal dengan mencantumkan di dalam menu makanannya, maka hal ini masuk dalam ranah penipuan,” katanya. (EBI/K1)
febi@lampungpost.co.id