Dian Wahyu Kusuma
LANGKAH kaki Rifka tampak hati-hati saat memasuki gedung tempatnya bekerja di Bandar Lampung. Kantornya memang belum memiliki guide block untuk menuntun tongkatnya supaya tak melenceng. “Takutnya jatoh,” kata Rifka, Senin (12/10/2020).
Rifka Aprilia baru satu setengah tahun menjadi disabilitas netra. Matanya kabur, hingga berangsur tak mampu melihat. Penyakitnya terbilang langka. Ia mesti rutin periksa darah dua pekan sekali di puskesmas. Perempuan berumur 33 tahun ini merupakan aparatur sipil negara (ASN) di kantor Pengadilan Tinggi Agama Propinsi Lampung. Ia menjadi disabilitas netra karena penyakit kekentalan darah. Selama enam bulan sejak netra, Rifka amat terpukul. Harapannya untuk bekerja pupus. Ia dipaksa untuk berhenti atau pensiun dini. Namun, sejak 2019 lalu, ia bertemu dengan lembaga netra, yakni Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Lampung. Di sana, ia mendapat pendampingan, semangat, dan keluarga baru. Ia pun berusaha agar bisa kembali bekerja.
Kantor tempatnya bekerja akhirnya memberi kesempatan baginya menjalani masa pemulihan dari sakitnya. Kini, Rifka mulai bisa menerima keadannya. Ia bahkan belajar mengoperasikan komputer bicara. Sejak November 2019, ia sudah bisa kembali bekerja di posisi yang sama, berkat bantuan rekan netra di Lampung.
Rifka berharap kantor dan pelayanan publik juga bisa ramah difabel. Mengapa begitu? Pemerintah Indonesia telah memiliki UU no 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas diantaranya disabilitas memiliki hak aksesibilitas. Aksesibilitas ini, mesti menjadi perhatian bersama antara dinas sosial, pehubungan, maupun pekerjaan umum.
Pengalamannya selama menjadi disabilitas, membuatnya berharap pemenuhan pelayanan bagi disabilitas bisa menjadi perhatian bersama khususnya legislatif dan pemerintah daerah melalui aturan seperti perda. “(Karena) Yang sehat saja punya peluang menjadi disabilitas,” ujar Rifka.
Rifka ingin ada aturan yang khusus mengenai kuota ketenagakerjaan disabilitas seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. “Harusnya pemda bisa menjamin (ketenagakerjaan disabilitas) karena kami sulit sekali mendapat pekerjaan,” ujarnya.
Bertahan di Saat Pendemi
Rifka bisa jadi lebih beruntung dibanding Mukhsin. Jika Rifka masih bisa bekerja kembali di kantornya, maka Mukhsin yang juga seorang disabiltasnetravharus berpikir keras saat pendemi tiba-tiba datang. Masalahnya, layanan jasa pijat yang ditekuninya kini permintaannya sepi bahkan turun drastis. Ia bersama istrinya akhirnya beralih usaha dari jasa pijat menjadi pedagang kerupuk keliling kompleks perumahan di Bandar Lampung.
Mukhsin bisa memanggul 60 bungkus kerupuk sekali berangkat. Gamar Alka, istri Mukhsin lah yang membantu membungkus aneka kerupuk tersebut, menjadi kemasan-kemasan kecil, harganya Rp5.000 per kemasan. Ada untir-untir, keripik singkong, kerupuk jengkol, dan cucuk gigi.Gamar mengaku sudah dua bulan ini ia dirumahkan dari pekerjaannya bengkel sebagai juru memasak. “Hasil dari berjualan kerupuk lumayan, kadang ada warga yang memberi uang lebih,” ujar Mukhsin didampingi sang istri, Rabu (14/10/2020) lalu.
Saat ini, Mukhsin tinggal di gang Delima, Kemiling, Bandar Lampung. Rumah papan kayu ukuran 6×8 meter itu ia buat sederhana. Ia menyewa lahan dengan biaya sewa Rp300 ribu per tahun. Ia merupakan anggota Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Lampung.
Tak hanya Mukhsin, sejumlah orang di komunitas Sahabat Difabel Lampung (Sadila) juga tengah berjuang menghadapi pandemi. Sejak Juni 2020, mereka mulai belajar membuat makanan kelas cafe serta membuat perangkat kursi, meja, dan aksesorisnya. “Minggu ini pelatihan membuat makanan desert roti bakar, pisang crispy,” kata Musas, koordinator masak dari Sadila.
Eti Mutmainah, Ketua Sadila menuturkan komunitasnya sudah dua tahun terbentuk. Alumnus pendidikan luar biasa FKIP Universitas Muhammadiyah Lampung ini membentuk komunitas yang sekarang jumlah anggotanya mencapai 30 orang. Anggota komunitas juga mendapat tawaran dari perusahaan swasta untuk bekerja misalnya di bagian kasir, atau gudang. Sekarang ada 4 anggota kelompok yang bekerja di salah satu rumah makan dan stationerry di Bandar Lampung. Komunitas Sadila ini memiliki mimpi untuk membuka cafe yang tenaga kerjanya dari kelompok difabel.
Perda Belum Memihak
Ketua Pertuni Lampung Supron mengatakan pemenuhan kebutuhan disabilitas belum sepenuhnya dirasakan, terutama terkait dengan lapangan pekerjaan. Padahal, Lampung telah memiliki peraturan daerah (Perda) No. 10 tahun 2013 tentang pelayanan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Perda tersebut diantaranya mengatur penyandang disabilitas mempunyai hak, kewajiban dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan yang layak dalam hal pendidikan; ketenagakerjaan; kehidupan sosial;kesehatan; aksesibilitas; bidang seni, budaya dan olahraga; bidang politik; bidang hukum; dan tempat tinggal.
Supron menuturkan, semua satuan kerja perangkat daerah bisa terlibat dalam pemenuhan hak disabilitas.Ia menambahkan untuk menjamin pemenuhan hukum penyandang disabilitas maka paradigmanya adalah multi sektor. “Yang terframing dimasyarakat persoalan disabilitas itu yakni persoalan sosial.”
Padahal menurutnya ada persoalan politik, hukum dan kesehatan yang tak kalah penting. Oleh karena itu ia menegaskan kata kuncinya ketika peraturan ini dibuat bukan lagi soal pelayanan tapi juga soal pemenuhan, sehingga posisi disabilitas itu bukan hanya sebagai objek, orang yang diberi belas kasihan, tapi bisa menjadi subjek dari proses pembangunan.
“Potensi disabilitas juga sangat besar sebagai aktor dalam pembangunan,” terang Guru Sekolah Luar Biasa di Bandar Lampung ini.
Supron ingin perda bisa memberikan dampak terhadap peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas. “Kita sangat sedih sudah ada peraturan daerah mulai 2013 sampai sekarang namun tidak ada perkembangan signifikanbagi disabilitas di Lampung. Oleh karena itu kami mendukung revisi (perda). Kami ingin implementasinya dijalankan,” ucap Supron.
Untuk memperjuangkan pemenuhan disabilitas di Lampung, Supron selaku Ketua Pertuni bersama berbagai NGO disabilitas di Lampung telah memberi masukan pada penyusunan revisi Perda peraturan daerah No. 10 tahun 2013 supaya 22 pemenuhan HAM yang tertuang dalam UU No. 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Ia menyatakan penyandang disabilitas juga memiliki hak untuk bekerja dan mendapatkan imbalan dari kerja kerasnya sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Undang-undang tersebut. Supron tak ingin kejadian penyandang disabilitas Romi Syofpa Ismael di Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat yang sempat digugurkan kelulusan CPNSD-nya pada 2019 lalu, terulang di Lampung.
Sementara Tri Susilo Ketua Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) Lampung menjelaskan pada prinsipnya saat ini di Lampung perusahaan belum mau mempekerjakan disabilitas, kecuali industri rumah tangga, keterampilan, distribusi rumah tangga untuk membuat makanan, kerajinan tangan. “Itu bisa dipakai, tapi kalau di pabrik perlu fisik yang bagus,” ujarnya.
Ia menilai, perda harus menyesuaikan UU yang ada di pusat. “Kalau di pusat ada UU turunannya harus ada di daerah, seharusnya di daerah dimuatkan dengan Perda1-2 persen (pekerja disabilitas). Kita tidak boleh diskriminasi, menyesuaikan. Tapi tidak tahu praktik di lapangannya,” ucap Tri.
“Orang yang menderita sakit saja perusahaan inginnya kami resign apalagi yang disabilitas,” ujarnya.
Disinggung soal rancangan Perda, Jauharoh Haddad Ketua Badan Pembentuk Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Lampung menuturkan rancangan peraturan daerah tentang disabilitas ini belum final. “Kami lihat masukan, apakah masuk tidak semua masuk kewenangan propinsi, kita lihat lagi UU kaitannya dengan UU diatasnya, dikaji lagi, (wewenang) pemda sebatas mana,” ujarnya.
Ia tak ingin terjadi tumpang tindih antar peraturan. “Diskusi dulu dengan tenaga ahli, kita lihat lagi sepanjang tidak bertentangan, kita (akan) akomodir,” ujarnya.
Ditegaskan oleh Budhi Prasetyanti Sapto Condrowati Anggota Komisi V DPRD Lampung, pihaknya dalam menyusun perda disabilitas melibatkan tenaga ahli dari akademisi serta stakeholder. “Kami merasa Perda No.10 tahun 2013 (tentang pelayanan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas) merasa perlu direvisi, supaya perda disabilitas makin maju dan baik, ingin kaum disabilitas bisa diterima di semua aspek kehidupan,” ujarnya.
Sementara Abdulah Fikri Founder Pusat kajian dan advokasi inklusi (Pusdakin) mengusulkan rancangan perda tentang disabilitas di Lampung harus memenuhi beberapa unsur. Pertama, perda disabilitas harus memenuhi hak asasi manusia (human right base) sebagai subjek paradigmanya, kedua judul utama perda mestinya pemenuhan hak, bukan lagi ke penyelenggaraan pelayanan dan kesejahteraan sosial. Lalu perda harus bisa mencakup multi sektor. “Kata Pemenuhan sudah pasti ada pelayanan,” ujarnya.
Saat ini rancangan perda memang sudah di ganti dari pelayanan disabilitas menjadi Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi Penyandang Disabilitas. Namun, bagi Fikri hal ini masih belum menjadi keinginan para disabilitas. “Kami sudah habis-habisan (mengawal raperda),” ujarnya, Senin (26/10/2020).
Ketenagakerjaan Disabilitas
Saat ini ada 852 anggota Pertuni di Lampung. Ketua DPD Pertuni Lampung Supron Risdiono mengatakan sebagian besar anggota Pertuni belum menjadi anggota BP Jamsostek. Mayoritas dari mereka tak memiliki pekerjaan tetap. Alasan pendidikan rendah menjadi penyebabnya, misalnya saja Mukhsin. Ia mengaku belum terdaftar sebagai peserta BP Jamsostek. Sementara untuk BPJS Kesehatan, Mukhsin dan keluarga sudah mendapat bantuan iuran dari pemerintah. Padahal, sebagai tunanetra ia rentan mengalami kecelakaan saat berdagang, misalnya ketika keliling kompleks rumah di Bandar Lampung.
Bapak tiga orang anak ini mengatakan tertarik untuk mengikuti program BP Jamsostek kategori bukan penerima upah. Ia bahkan bercerita telah membuat polis asuransi jiwa. Bayaran preminya yakni Rp3,6 juta per tahundengan masa iuran mencapai 10 tahun. “Tahun ini sudah selesai,” ujarnya.
Menurut Bael Novridu, Cash Manager Kecelakaan Kerja-Penyakit Akibat Kerja (KK-PAK) BP Jamsostek cabang Bandar Lampung, penyandang disabilitas atau pekerja bukan karyawan bisa mengaktivasi kepesertaan BP Jamsostek melalui program Pekerja Bukan Penerima Upah (BPU). Sementara pada tahun ini, pihak BP Jamsostek menjadi mitra pemerintah untuk memberikan data bantuan subsidi upah yakni Rp600 ribu per bulan selama empat bulan di masa pandemi Covid-19.
Ia menuturkan pihak BP Jamsostek sudah mewajibkan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) return to work, tapi masih ada perusahaan di Lampung yang belum siap. Ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja sehingga tidak mampu bekerja selama pengobatan, maka pihak BP Jamsostek memberikan insentif STMB (Sementara Tidak Mampu Bekerja). Insentif STMB ini dapat diproses setelah karyawan mendapat catatan dari dokter usai selesai masa pengobatannya.
Data BP Jamsostek Bandar Lampung, sejak 2016-2018 ada 8 karyawan yang telah mengikuti program JKK return to work. Sementara sejak 2019-2020, tidak ada karyawan yang kecelakaan parah sehingga menyebabkan disabilitas. “Artinya K3 perusahaan makin baik di Bandar Lampung,” ujar Bael.
Bael menuturkan saat ini ada 425 perusahaan yang telah mendaftarkan karyawannya untuk mengikuti program jaminan kecelakaan kerja (JKK) return to work. Sementara BPS Lampung mencatat ada 448 perusahaan pada skala industri besar dan sedang pada 2018, dengan 61.026 karyawan.
Ia melanjutkan, tenaga kerja yang mengalami disabilitas karena kecelakaan kerja akan mendapat pendampingan dan pelatihan kerja. Dalam hal ini, BP Jamsostek telah bekerja sama dengan balai latihan kerja (BLK) swasta maupun milik pemerintah.
Muhammad Gandi Fasha Kepala Seksi Pelatihan dan Pegembangan UPTD Balai Latihan Kerja (BLK) Bandar Lampung, Dinas Ketenagakerjaan propinsi Lampung menuturkan pihaknya pernah bekerjasama dengan Kementerian Sosial untuk mengadakan pelatihan kerja kepada penyandang disabilitas pada 2017 lalu. Namun, karena fasilitator BLK tidak mempunyai kemampuan pendampingan terhadap disabilitas, program pelatihan berjalan kurang bagus. “Kami gak punya pelatih kapabel,” ujar Gandi.
Menurutnya, instruktur merasa kesulitan dengan komunikasi peserta. Penyandang disabilitas perlu pendamping sebagai jembatan komunikasi antara instruktur dan peserta disabilitas. Pada saat itu, pihaknya hanya mensyaratkan peserta dari disabilitas tuna daksa ringan. Artinya, memiliki dua tangan utuh dan bisa berdiri baik itu dengan bantuan alat.
“Secara umum, BLK Bandar Lampung belum siap melatih disabilitas secara mandiri. Tenaga instruktur belum terlatih,” ujarnya.
Namun, bila ada aturan yang mengikat soal pelatihan terhadap disabilitas, maka pihaknya akan membantu melalui program yang tersedia. Misalnya peralihan anggaran reguler, sebagian bisa dialihkan untuk disabilitas.
Saat ini BLK bandar Lampung memiliki jurusan komputer, perhotelan (waitress), menjahit, las, dan elektronik dengan 13 kelas. Menurutnya, 91 orang penyandang disabilitas yang telah berlatih kemampuan ke BBCRPD Cibinong sudah bagus. “Kami melatih tenaga kerja, penyaluran pemasaran tenaga kerja kita ga bisa maksa,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Sutikno Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas (RSPD) Dinas Sosial Propinsi Lampung mengatakan pihak Dinsos Lampung hanya menyediakan pelatihan bagi disabilitas yang memiliki fisik bagus dan bisa dibimbing seperti pelatihan pijit.
Dari data yang dikumpulkan dinas sosial sampai Maret 2020, saat ini ada 38.228 orang penyandang disabilitas di Lampung. Sutikno menjelaskan, penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal baru 12 orang, yakni baru satu perusahaan yang baru melapor ke dinas. Ia melanjutkan selama 2020, ada bantuan bagi disabilitas yakni Rp2 juta per orang dari Kementerian Sosial yang telah disalurkan kepada pada 16 lembaga yakni 456 orang dan individu 926 orang. Sementara, rehabilitasi sosial untuk jenis disabilitas lainnya belum bisa dipenuhi di Lampung.
Penyandang disabilitas yang memiliki kemauan mendapat soft skills bisa dilakukan di luar Lampung. Wawan, penyandang disabilitas daksa asal Way Halim Bandar Lampung misalnya mendapat pelatihan di pusat Rehabilitasi Yakkum, Yogyakarta. Ia belajar mengenai elektonik. Saat ini, Wawan menyediakan jasa service elektronik, baik itu service di rumah ataupun di panggil ke rumah pelanggannya.
Selain Rehabilitasi Yakum, Yogyakarta, ada juga Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBVRPD) Cibinong, Jawa Barat, milik Kementerian Sosial. Triyanto tuna daksa yang juga Ketua Lembaga Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas (LKS PD) Lampung Selatan pernah belajar tentang ilmu komputer di Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Penyandang Disabilitas (BBVRPD) Cibinong, Jawa Barat, milik Kementerian Sosial itu. Saat ini Triyanto membuka usaha jasa fotografi di rumahnya, Desa Merbau Mataram kec Merbau Mataram Lampung Selatan.
Ismet Syaefullah Kabid Layanan Teknis Vokasional BBVRPD, Kementerian Sosial saat berkunjung ke Lampung, Selasa (20/10/2020) mencatat penyandang disabilitas asal Lampung yang sudah mengikuti pelatihan sebanyak 91 orang, 44 diantaranya telah disalurkan ke perusahaan di Pulau Jawa. Sementara 38 orang melakukan usaha mandiri dan yang kembali ke daerah 9 orang karena pandemi Covid-19. Menurut Ismet, pemberdayaan disabilitas di Lampung harus menjadi perhatian bersama. “Tergantung bagaimana kepala daerah mengajak swasta untuk menerima disabilitas,” tutupnya. (*)