TRIYADI ISWORO
PENGAMAT Politik yang juga Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Unversitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing mendorong agar para kandidat yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020, memaksimalkan kampanye secara virtual.
Menurutnya, selain dapat meminimalkan risiko meluasnya penularan Covid-19. kampanye secara virtual juga dapat menekan biaya politik yang dikeluarkan oleh pasangan calon kepala daerah.
“Tidak perlu ditunda pilkada tapi pelaksanaannya juga harus menghindari penyebaran virus Covid-19. Tim sukses, pasangan calon, dan masyarakat tidak ada lagi kampanye langsung di luar ruangan atau dalam ruangan. Tetapi bertemu secara virtual dengan gawai dan sosial media yang ada. Kalaupun ada konser virtual. Ini menghemat cost politic (biaya politik),” ujarnya di Jakarta, Minggu (27/9).
Menurutnya, apabila para pasangan calon kepala daerah bersikap negarawan, pasti akan mematuhi protokol kesehatan dan anjuran kampanye secara virtual karena mengutamakan kesehatan masyarakat. Ia pun yakin partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan apabila kampanye virtual dikemas secara kreatif dan inovatif.
“Karena para calon bisa bertemu dan berdialog secara virtual langsung dengan pemilihnya,” katanya.
Emrus menegaskan, kampanye secara daring harus dilakukan sebab penularan Covid-19 akan sulit ditekan apabila kampanye dilakukan secara tatap muka yang melibatkan kerumunan orang banyak misalnya melalui konser musik, dan lain-lain.Saat hari pencoblosan, ia meyakini penyelenggara pilkada sudah mengatur jumlah pemilih pada setiap tempat pemungutan suara (TPS), serta diterapkannya penjarakan fisik.
“Kalau saat hari pemilihan nanti, bisa diatur sedemikian rupa karena orang datang ke TPS dengan rasionalitas menggunakan hak pilih mereka. Sedangkan kalau kampanye di lapangan, ada konser dan lain-lain, ini sulit mengatur massanya,” ujar dia.
Diskualifikasi
Pengamat politik Adi Prayitno mengatakan penyelenggara pemilu dan pemerintah perlu menerapkan sanksi yang menakutkan bagi pasangan calon agar mau menerapkan protokol kesehatan. Hal itu demi menjamin pilkada tak menimbulkan masalah penularan covid-19.
Ancaman yang mungkin paling menakutkan bagi pasangan calon, yaitu diskualifikasi. Kalau tidak didiskualifikasi, tidak akan menakutkan. Jadi, kalau mau memberi sanksi jangan setengah hati,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia itu beberapa waktu lalu.
Menurutnya, dalam kondisi wabah covid-19 yang trennya kian naik, tidak ada pilihan melarang mobilisasi massa dalam berbagai bentuk. Kerawanan itu makin terasa lantaran saat ini puluhan calon kepala daerah dan penyelenggara pemilu terpapar virus korona. Sayangnya, aturan dari KPU saat ini masih membolehkan kerumunan dengan batas tertentu.
“Tidak ada pilihan lain bahwa kerumunan itu harus disetop. Kumpul-kumpul yang mengundang kerumunan harus dibubarkan dengan sanksi dan teguran kepada paslon atau tim sukses yang melakukan. Bisa maksimal tiga kali melakukan pelanggaran yang sama dan kalau tetap ngotot perlu didiskualifikasi,” ujarnya.
Adi mengatakan larangan kerumunan orang dalam kampanye itu perlu juga dijadikan pakta integritas bagi semua pasangan calon. Level pimpinan partai di tingkat pusat juga perlu memberi instruksi kepada pasangan yang diusung atau kader di daerah untuk menaatinya. (MI/D1)triyadi@lampungpost.co.id