FATHUL MUIN
KOMISI pemilihan umum (KPU) melaksanakan uji publik dua peraturan KPU untuk Pemilu 2019, Kamis (5/4). Keduanya adalah PKPU terkait pencalonan pemilu legislatif dan pilpres.
Dalam uji publik, KPU mengundang seluruh perwakilan parpol, akademisi, dan pemerhati pemilu. “Hari ini cuma dua (PKPU) saja. Tapi mungkin ini cukup krusial ya. Karena PKPU ini PKPU yang dalam tanda kutip memang jantungnya pemilu,” kata komisioner KPU, Ilham Saputra, di kantor KPU Pusat, Jakarta, Kamis (5/4).
Dia berharap mendapat masukan untuk kemudian diproses menjadi PKPU yang lebih bersifat komprehensif. Kemudian, hasilnya akan dibawa untuk konsultasi dengan Komisi II DPR. “Kami akan sampaikan (rancangan PKPU hasil uji publik) pada Senin besok kepada RDP (rapat dengar pendapat) dengan DPR,” ujarnya.
Dua Parpol
Dalam uji publik tersebut, PDIP dan PBB secara tegas menolak usulan komisi pemilihan umum (KPU) yang melarang mantan koruptor untuk mencalonkan diri dalam pileg. Usulan tersebut diungkapkan pada saat uji publik rancangan PKPU pencalonan presiden dan wakil presiden serta PKPU pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
“Kami percaya dengan ketetapan hukum yang ada, ketetapan hukum yang ada mengatakan mantan narapidana sudah melakukan upaya penebusan hukum dan karena dia sudah tertebus hukumannya, maka kita tidak boleh menghakimi lagi,” kata Wakil Kepala Badan Saksi Pemilu Nasional Pusat PDIP Eko Sigit Ruminto Kurniawan.
“Pertama, soal pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg pada Pemilu 2019. Dalam sidang tipikor, terdakwa korupsi sering dituntut agar dicabut hak pilihnya.
Hal itu, ujarnya, ditegaskan dalam Pasal 240 Angka 1 Huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. “Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan melakukan tindak pidana yang diancam 5 tahun penjara atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” ujarnya.
Perwakilan PBB, Sukmo Harsono, menilai PKPU tersebut rawan digugat. Menurutnya, ada dua hal yang lemah dan dipaksakan dalam PKPU tersebut.
“Pertama, soal pelarangan mantan narapidana korupsi menjadi caleg pada Pemilu 2019. Dalam sidang tipikor, terdakwa korupsi sering dituntut agar dicabut hak pilihnya,” kata dia.
Oleh karena itu, dia menilai berlebihan jika KPU menelurkan PKPU yang melarang orang tersebut. “Pada akhirnya KPU akan habis waktu buat melayani gugatan,” ujarnya.
Namun, tidak semua parpol menyuarakan resistensi mereka dalam uji publik. Tercatat, usulan KPU tersebut mendapat dukungan dari Hanura, Perindo, Partai Berkarya, hingga PSI. (D1)
fathulmuin@lampungpost.co.id