PENDIRI marga. Hissink menuliskan: “Dan keturunannya yang menggantikannya apabila wafat, disebut penjimbang mega.” Dalam kelompok pendatang baru, cerita lama orang Abung masih dapat dikenali dari zaman perebutan wilayah di dataran rendah. Patriark merupakan cerita karangan yang berasal dari kurangnya pengetahuan terkait sejarah budaya orang Abung.
Selain itu, menurut penggambaran Hissink, dulunya marga memiliki arti yang sama dengan buwei. Dalam cara yang sama, Hissink juga hendak menjelaskan mengenai pembentukan tiuh dan suku (adat) serta jabatan penjimbang tiuh dan penjimbang suku.
Begitu pula RA Kern mencampuradukkan berbagai perihal adat dengan perihal administratif. Awalnya, ia menyatakan dengan benar bahwa unit suku awalnya adalah buwei. Pada zaman dulu, orang-orang Lampung (demikian menurut Kern) mengembara ke wilayah selatan.
Di tengah jalan, mereka terpecah dan bermukim menjadi suku-suku (buwei) sehingga muncullah marga. Kemudian, anggota dari kelompok-kelompok yang terpisah lupa akan asal marga karena mereka tidak menjalin hubungan lagi dengan sebagian lain sukunya.
Dari kelompok yang terpecah ini muncullah suku-suku baru. Kini, marga merupakan ikatan konstitusional yang tertinggi. Pemimpin marga merupakan keturunan pendiri suku dari garis laki-laki langsung. Pemimpin marga dipilih hanya karena kelahiran.
Pemikiran absurd ini kembali membingungkan. Kern kembali memberikan penjelasan mengenai pembentukan suku-suku dan jabatan pemimpinnya. Namun, hal tersebut tidak jelas apakah yang ia maksudkan adalah suku adat, marga ikatan darah atau suku administratif di zaman sekarang.
Kern menyebut desa sebagai sebuah kelompok suku-suku yang tinggal berdampingan. Pemimpin suku sama kedudukannya. Hanya pemimpin dari suku yang terpandang yang merupakan primus inter pares (pertama dari yang sederajat) dan untuk itu menjadi pemimpin desa. Oleh sebab itu, semua tatanan adat, unit yang dibentuk dari hubungan darah menjadi kacau akibat administrasi modern.
Titik puncak dari kebingungan yang dicatat oleh Kern saat ia menyebut penjimbang, pemimpin marga alami menjadi utusan kepala suku administratif, pemimpin sebuah desa. Kern selalu menulis penjimbang sebagai utusan. Dan ia selalu keliru dalam penjelasannya yang lain antara istilah utusan dan penerus.
Kemudian, Van Royen menjelaskan dalam tulisannya tentang ikatan adat bahwa jabatan pesirah, pemimpin marga administratif, muncul secara perlahan dari jabatan anggota proatin suku (dewan adat) yang menjadi makin kuat. Di sini, kembali muncul kekeliruan unit adat dengan administrasi kolonial.
Hingga saat ini, buwei selalu disebut dengan unit genealogis. Pada zaman sekarang, kata ini digunakan secara terbatas. Sementara kata ini menjadi lebih leluasa terhadap prinsip hubungan darah dan asal alami dari keturunan yang sama. Informan yang tidak dipercaya dengan sejarah budaya orang Abung tidak memiliki kemampuan untuk memberikan kesimpulan dari gambar.
Van Royen menyimpulkan bahwa orang Abung dikatakan satu buwei dapat memiliki dua marga dan sebaliknya marga Nunjai memiliki tiga buwei. Oleh karena itu, ia mengira terdapat pembagian pada marga tersebut. Untuk itu, ia menetapkan untuk sementara “buwei besar” berarti suku dan untuk “buwei kecil” sama dengan subsuku. Dalam kenyataannya, ketentuan tersebut masih lebih rumit lagi. (M1)
========================
Tulisan ini menyadur buku Orang Abung, Catatan Rakyat Sumatera Selatan dari Waktu ke Waktu oleh Friedrich W Funke.