Judul Buku: Road to Prosperity
Penulis: Rhenald Kasali
Tebal: 340 halaman
ADA dua faktor kunci sukses di era yang serba-internet of things (IoT) ini menurut Rhenald Kasali. Keduanya ia bedah dalam buku terbarunya, Road to Prosperity.
Di era digital, jutaan orang saling terhubung setiap harinya. Mereka terkoneksi dalam relasi komunikasi yang dinamis di sebuah dunia (platform) baru yang disebut “media sosial”. Beragam topik wacana dipertukarkan di dunia baru ini dalam bentuk “konten” yang berwujud gambar, teks, audio, ataupun video. Mereka pun saling memengaruhi satu sama lain dengan menyajikan konten paling menariknya.
Dalam dunia baru ini, power yang dimiliki seseorang didefinisikan dengan banyaknya pengikut (followers/subscribers) yang mereka punyai. Pada tahap ini, kemampuan menggerakkan (mobilisasi) para pengikut menjadi skill utama yang harus dimiliki pemimpin (leader) ketika menyampaikan ide-ide pemikirannya. Gerakan yang didukung banyak followers akan mampu memengaruhi opini publik.
Selain kemampuan mobilisasi massa dan sumber daya lainnya, seorang pemimpin juga harus lihai mengorkestrasi. Era digital menghadirkan berbagai platform yang difungsikan untuk memudahkan kehidupan kita sehari-hari. Dengan begitu, ibarat seorang konduktor yang memimpin suatu pertunjukan musik, seorang pemimpin dituntut bisa menghadirkan harmoni kerja nan ritmik dalam dunia yang makin multiplatfrom ini.
Strategi mobilisasi dan orkestrasi inilah yang diulas secara mendalam oleh Rhenald Kasali dalam buku anyarnya. Namun, dalam 340 halaman buku ini, sang profesor tak terlalu banyak membahas perihal teoretik. Ia justru sengaja menambahkan konten tentang best practice dari dua strategi tersebut, yang menurutnya dapat dijalankan di satu daerah. Tujuannya agar pembahasan yang ia kemukakan mudah dipahami pembaca.
Banyuwangi merupakan daerah yang ia istimewakan. Daerah yang bahkan dijadikan subjudul dalam buku terkininya itu ia anggap berhasil menggunakan strategi mobilisasi dan orkestrasi, atau yang sering ia singkat #MO di dalam buku, untuk berinovasi membentuk suatu persepsi publik baru terhadap daerah yang selama ini dipandang sebelah mata.
Keberhasilan tersebut tak lepas dari sosok Bupati Banyuwangi dua periode, Abdullah Azwar Anas, yang piawai “memaksa” masyarakat Banyuwangi untuk berbenah sekaligus berinovasi demi meningkatkan kesejahteraan. Pemerintah kabupaten pun mulai berupaya membuka lapangan pekerjaan baru dengan menghidupkan kembali aneka ragam sentra industri kreatif di Banyuwangi, termasuk menggarap ulang sektor pariwisatanya.
Alhasil, dalam sedekade, Banyuwangi telah jauh berbeda. Ia kini menjadi salah satu daerah tujuan wisata yang cukup populer di Indonesia, bersanding dengan Pulau Dewata. Terkait sektor pariwisata ini, sepanjang 2019, di bawah arahan Bupati Abdullah Azwar Anas, setidaknya ada sekitar 99 event kebudayaan yang digelar dengan melibatkan sebagian besar masyarakat Banyuwangi sepanjang tahunnya.
“Sudah tak terdengar lagi ribut-ribut dukun santet. Demikian pula kejadian-kejadian khusus, seperti busung lapar atau penyakit-penyakit akibat kurang gizi. Eksotika Banyuwangi yang sebelumnya tenggelam oleh image negatif wilayah ini perlahan muncul seiring dengan hadirnya media sosial.” (halaman 4)
Rhenald mengungkapkan Azwar Anas sangat sadar tentang strategi pengembangan pariwisata bahwa untuk mengoptimalkan potensi wisata di suatu daerah, prinsip aksesibilitas, amenitas, dan atraksi harus dipenuhi lebih dahulu. Dan, hal tersebut ia wujudkan dengan membuka Bandara Banyuwangi pada 2010.
Rhenald juga menggaris bawahi beberapa program pembangunan daerah dan pemberdayaan sosial yang diimplementasikan Azwar Anas selama masa pemerintahannya. Umpama, inisiasi program Rantang Kasih pada 2017 untuk menyalurkan makanan bergizi kepada warga lansia di Banyuwangi. Lalu peluncuran aplikasi pengentasan warga dari kemiskinan berbasis daring dan geospasial yang disebut Jalin Kasih pada 2018.
Pada bab 11 yang bertajuk Membalik Persepsi Netizen, sebuah komparasi pun dihadirkan Rhenald Kasali untuk mengukur perubahan persepsi dari masyarakat pada umumnya terhadap Banyuwangi dari dua masa yang berbeda. Pertama ialah Februari 1998, ketika di Banyuwangi sedang terjadi sebuah peristiwa besar aksi pembunuhan orang-orang yang diduga dukun santet.
Hal itu kontras dengan suatu momentum pada Agustus 2019, di saat warganet dihebohkan dengan tagar #KKN_desa_penari yang kemudian menjadi viral di media sosial. Ketika kisah horor itu viral, warganet berduyun-duyun ke Banyuwangi, sengaja untuk mencari informasi tentang lokasi yang menjadi setting di novel digital tersebut. Seketika beberapa objek wisata di Banyuwangi yang dulunya sepi, kini mulai banyak dikunjungi kembali.
Buku yang terdiri atas 15 bab ini cukup ringan untuk dibaca semua kalangan. Penulis juga mampu menyajikan dua konsep inti yang merangkai buku ini dengan tuntas, yaitu mobilisasi dan orkestrasi, ke dalam dua sudut bahasan. Pertama, sudut teoretik yang berisi rujukan-rujukan ideal, dan kedua, best practices yang sifatnya reflektif dan empiris.
Pengalaman Abdullah Azwar Anas mengubah citra Banyuwangi dari daerah tertinggal menjadi salah satu kawasan tujuan wisata utama membuktikan bahwa inovasi distruptif (yang bertumpu pada prinsip mobilisasi dan orkestrasi) ternyata mampu digunakan di ranah pemerintahan. (MI/R5)