TERNYATA pandemi juga menyokong tingkat gugatan perceraian di masyarakat. Sebelum virus corona menyebar ke seluruh dunia, pasangan suami-istri ini tidak pernah membahas kemungkinan terburuk dari rumah tangga mereka. Namun selama pandemi, hubungan pasutri tersebut memburuk karena banyak hal. Pandemi membuat banyak pemutusan hubungan kerja, lesunya usaha yang menyebabkan lemahnya perekonomian.
“Saya menjadi lebih tertekan dan situasi buruk itu terus memuncak. Kami akhirnya memutuskan, barangkali, untuk menjalani percobaan ‘pisah ranjang’,” ujar Anita, salah satu warga kepada Lampung Post.
Dengan cepat ia dan suami menyadari bahwa perpisahan ini akan berlangsung selamanya.
Situasi yang dihadapi Anita dan suaminya merupakan hal yang dihadapi banyak rumah tangga selama pandemi. Permohonan perceraian di Bandar Lampung dan di berbagai negara lainnya juga melonjak.
“Sebenarnya sudah ada pembicaraan keluarga, tapi tidak ada jalan keluar. Sepertinya bukan saya saja yang mengalami hal tersebut. Permasalahan ekonomi menjadi alasan kuat untuk berpisah,” jelasnya.
Menurut tokoh agama Islam Abu Thalhah dalam Islam pernikahan adalah sesuatu hal yang sangat sakral dan apabila hubungan tidak dapat dilanjutkan, harus diselesaikan secara baik-baik.
“Perceraian memang tidak dilarang dalam agama Islam, namun Allah membenci sebuah perceraian. Bercerai adalah jalan terakhir ketika terjadi permasalahan dan saat semua cara telah dilakukan untuk mempertahankan rumah tangga, tapi tetap tidak ada perubahan,” ujarnya.
Sebelum perceraian kita mengenal istilah talak. Talak ialah terurainya ikatan nikah dengan perkataan yang jelas. Misal, suami berkata kepada istrinya, “Engkau aku ceraikan.” Atau dengan bahasa sindirian dan suami meniatkan perceraian. Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “Pergilah kepada keluargamu.”
Talak tidak diperbolehkan jika bertujuan untuk menghilangkan madzarat dari salah satu, entah itu dari suami atau istri. (CK4/R5)